Perubahan iklim menjadi ancaman katastropik secara global. Begitu juga Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut hingga hilangnya pulau-pulau. Belum lagi masalah suhu dan emisi gas rumah kaca yang mengalami tren kenaikan, bahkan Indonesia diperkirakan mengalami kerugian ekonomi sebesar 0.66 – 3,45 persen Produk Domestik Bruto (PDB) akibat perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya melalui konsep Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries (REDD) yang kemudian dalam perkembangannya berubah menjadi REDD+ dalam agenda COP 11 pada 2015, Indonesia sudah mengantongi komitmen pendanaan untuk ambisi nol emisi dari dunia International. Climate Policy Initiative (CPI) pada 2015 misalnya, Indonesia mendapatkan bantuan dana dari luar negeri sekitar 900 juta dollar AS pada 2011. Laporan KLHK juga menyebutkan bahwa Indonesia juga mendapatkan dana sekitar 1,8 miliar dollar AS selama kurun 2015 – 2016.
Dalam diskusi bertajuk “Tata Kelola Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia, yang diselenggarakan oleh konsorsium Open Climate Fund in Indonesia (OCFI) diampu oleh tiga organisasi masyarakat sipil: MediaLink, Indonesia Governance Institute (IGI) dan Indonesia Budget Center (IBC), bekerjasama dengan Kementerian Keuangan RI, pada Jumat (07/07/2023), OCFI mencermati dari data awal bahwa bantuan internasional untuk pendanaan perubahan iklim bukan sekadar hibah, tapi juga dalam bentuk pinjaman.
Direktur Indonesia Governance Institute (IGI) Muh. Affan dalam diskusi tersebut mengatakan, sebagian besar bantuan internasional untuk pendanaan perubahan iklim di Indonesia dalam bentuk pinjaman:
“Hibah dari internasional tidak begitu besar sebenarnya,” kata Muh. Affan dalam diskusi bertajuk
Affan menuturkan, 99 persen bantuan internasional yang dikucurkan ke Indonesia untuk agenda perubahan iklim dalam bentuk pinjaman. Sedangkan bantuan dunia internasional dalam bentuk hibah hanya 1 persen. “Tapi seolah-olah yang lebih tampil ke publik adalah dana hibah yang mengelola soal perubahan iklim di Indonesia,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Joko Tri Haryanto menyebutkan bahwa kondisi tersebut tidak lepas lantaran pengelolaan pendanaan perubahan iklim mengalami perubahan paradigma. Joko mengatakan, pemerintah tidak ingin mengandalkan APBN dalam pendanaan perubahan iklim.
“Kalau konvensional, paradigmanya selalu pendekatannya cost center (APBN). Padahal, harusnya kita mulai reform dari cost center ke pembiayaan atau financing sehingga tidak menghabiskan dana APBN,” tegasnya.
Oleh sebab itu, Joko menuturkan pemerintah melakukan berbagai inovasi pendanaan perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya penerbitan green sukuk pada tahun 2018 di mana setiap tahun pemerintah menerbitkan global green sukuk secara rutin untuk pembiayaan perubahan iklim. Lalu, ada juga Sustainable Development Goals (SDG’s) Bond. Ini juga dipakai untuk pembiayaan climate.
Lebih lanjut, Affan menyadari memang APBN tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim yang mencapai Rp.377 triliun per tahun. Bahkan, dalam enam tahun terakhir, anggaran perubahan iklim yang bersumber dari APBN masih di bawah 7 persen. Hanya saja, sambung dia, pengelolaan dana perubahan iklim yang bersumber dari bantuan internasional masih belum transparan. Informasi mengenai pendanaan perubahan iklim juga terbatas. Oleh sebab itu, Affan menekankan pentingnya akuntabilitas dan informasi komprehensif serta fokus dalam pengelolaan dana perubahan iklim, khususnya Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai lembaga penampung dan penyalur dana perubahan iklim yang dibentuk pemerintah pada 2019.
Apalagi, sebagian besar dana perubahan iklim yang diterima Indonesia dari luar negeri. “Artinya, meskipun dana itu untuk perubahan iklim, mengurangi emisi, tapi juga (pinjaman) itu berimplikasi kepada hutang yang akan ditanggung oleh anak cucu kita nanti. Perlu pengelolaannya yang transparan dan akuntabel,” tandas dia.
Lebih lanjut, Peneliti MediaLink, Tanti Budi Suryani mengingatkan pentingnya tata kelola pendanaan perubahan Iklim yang transparan dan akuntabel, terutama yang bersumber dari bantuan internasional baik dalam bentuk pinjaman maupun hibah.
“Bagaimana skema pendanaan maupun pembiayaan itu bisa benar-benar bermanfaat buat masyarakat,” tegas dia.
Tanti khawatir pengelolaan pendanaan perubahan iklim akan menimbulkan persoalan. Apalagi, beberapa pemerintah daerah juga turut mengelola dana perubahan iklim. Salah satunya Provinsi Jambi yang bakal mengelola dana sebesar 70 juta dollar AS untuk melaksanakan BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Lanscape (BioCF-ISFL)—program fasililitas multilateral yang didukung oleh pemerintah Negara pendonor dan dikelola oleh Bank Dunia. Begitu juga dengan Provinsi Kalimantan Timur bakal menerima dana sebesar 110 juta dollar AS dari Bank Dunia melalui Program Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-CF). Di mana pembayaran tahap pertama pada November 2022 lalu, Kalimantan Timur sudah mengantongi 10,9 juta dollar AS.
“Saya yakin ke depannya kalau coba kita petakan dari kerjasama-kerjasama itu, pasti akan ada beberapa daerah yang memiliki kerjasama juga,” tegas Tanti.
(rlh)