Lomba Karya Tulis #anakmudalawanintoleransi
Oleh : Naufa Nufail
Indonesia, sebagai negara yang kaya akan budaya, bahasa, dan agama, terus berupaya menjalankan prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang mencerminkan keragaman dalam persatuan.Salah satu wujud konkret dari kerukunan dan moderasi dalam beragama dapat ditemukan di sebuah desa kecil di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang terkenal dengan tradisi unik mereka: Perang Topat. Dalam tradisi ini, kita dapat menemukan nilai-nilai moderasi beragama dan harmoni yang merupakan dasar dari konsep Bhinneka Tunggal Ika. Perang Topat adalah salah satu contoh yang mencerminkan pentingnya moderasi dalam menjalani keyakinan agama di tengah masyarakat yang beragam dalam hal agama dan budaya. Desa Lingsar, tempat tradisi ini berlangsung, menjadi representasi kuat dari kesatuan dalam keragaman.
Indonesia adalah negara yang menghadapi tantangan kompleks terkait keragaman etnis, bahasa, dan agama. Kendati dikenal dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda namun tetap satu), Indonesia seringkali menghadapi konflik, perpecahan, rasis, serta isu SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) yang meresahkan masyarakatnya. Perpecahan antara
beragam kelompok etnis dan agama kadang-kadang menciptakan ketegangan yang dapat memicu konflik sosial. Konflik agama di berbagai daerah, ketidaksetaraan sosial, serta tindakan rasis dan diskriminatif terhadap kelompok etnis tertentu menjadi ermasalahan yang meruncing. Keberagaman Indonesia terkadang belum dimanfaatkan sebagai kekuatan, melainkan sebagai sumber ketidaksetujuan, ketidakpercayaan, dan perpecahan dalam masyarakat.
Perang Topat di Desa Lingsar, yang melibatkan suku Sasak yang mayoritas beragama Islam dan suku Bali yang menganut agama Hindu, muncul sebagai solusi yang menarik dalam konteks moderasi beragama. Tradisi ini membuktikan bahwa dalam sebuah masyarakat yang beragam seperti Desa Lingsar, perbedaan agama dan budaya dapat dihadapi dengan damai dan pengertian. Ketika kedua kelompok suku tersebut berpartisipasi dalam Perang Topat, mereka menunjukkan bahwa konflik dan perpecahan yang sering terjadi di tempat lain dapat dihindari. Sebaliknya, mereka memilih untuk merayakan keberagaman dengan cara yang harmonis dan penuh kasih sayang. Inilah yang membuat Perang Topat menjadi contoh konkret tentang bagaimana moderasi beragama dapat membawa perdamaian dan harmoni di tengah perbedaan.
Perang, dalam konteks umum, sering dikaitkan dengan konflik, kebencian, pertumpahan darah, dan kerusakan. Namun, di Desa Lingsar, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, perang memiliki makna yang sama sekali berbeda. Bagi warga Desa Lingsar, perang adalah kesempatan untuk bersenang-senang, bersuka cita, dan merayakan keberagaman tanpa adanya konflik sejati.
Di sini, tidak ada air mata yang tumpah, tidak ada luka-luka, dan tak ada korban jiwa. Sebaliknya, perang yang diadakan setiap tahun ini menjadi sebuah pesta rakyat yang menyenangkan. Senjata utama dalam “perang” ini adalah ketupat, atau topat dalam bahasa Sasak, suku asli Pulau Lombok. Namun, ketupat yang digunakan dalam perang lebih kecil dibandingkan dengan yang biasanya, hanya sekitar 30 gram dibandingkan dengan ketupat biasa yang mencapai 150 gram.
Tempat perang ini terletak di Pura Lingsar, situs keagamaan Hindu terbesar di Lombok. Pura ini mencerminkan harmoni antara dua agama utama di desa ini, yaitu Islam (diikuti oleh 70%penduduk) dan Hindu (25% penduduk), serta beberapa kepercayaan lainnya. Lambang pemerintahan desa mencakup gambar pura dan masjid sebagai simbol dari dua agama mayoritas di Lingsar. Perang topat diadakan selama perayaan Pujawali, yang biasanya bertepatan dengan tanggal 15 purnama sasi kepitu dalam kalender Sasak, yang dalam kalender Masehi jatuh di bulan Desember atau pertengahan November. Acara ini diadakan pada sore hari, setelah waktu salat Asar bagi umat Islam, saat raraq atau bunga pohon waru berguguran. Pohon-pohon waru, yang ditanam oleh warga di lingkungan desa dan pura, menjadi bagian penting dalam upacara ini. Perang topat melibatkan serangkaian upacara adat sebelum perang yang diikuti oleh ratusan warga desa. Salah satu upacara ini adalah nampah kaoq, di mana seekor kerbau jantan diarak mengelilingi pura sebelum disembelih. Kerbau dipilih karena menghormati larangan agama dari kedua kelompok,
yang tidak mengonsumsi babi atau sapi.
Setelah serangkaian upacara, perang topat dimulai, dan ribuan ketupat siap untuk dilemparkan. Masyarakat yang menganut Islam Wetu Telu dan umat Hindu Bali membagi dua lokasi, dengan Hindu berada di Pura Gaduh dan Muslim di depan Kemaliq. Semua ketupat yang dilemparkan dalam perang ini telah dimasak sebelumnya. Masyarakat yang ikut dalam perang topat terdiri dari berbagai kelompok umur dan jenis kelamin, bahkan turis asing sering ikut meramaikan upacara ini. Setelah perang selesai, warga dapat memilih untuk membawa pulang ketupat hasil lemparan “musuh” sebagai tanda persahabatan dan kebersamaan. Mereka meyakini bahwa ketupat ini membawa berkah karena berisi beras, yang dianggap sebagai hasil bumi dari Sang Pencipta.
Pura Lingsar sendiri memiliki sejarah yang panjang. Dibangun pada tahun 1759, ketika Raja Anak Agung Ngurah memerintah, tempat ini memainkan peran penting dalam mempersatukan dua kelompok beragama dan etnis yang berbeda. Bagi umat Hindu Bali di Lombok, Pura Gaduh adalah tempat paling suci, dan mereka selalu memadati pura ini untuk bersembahyang. Sementara bagi Sasak Wetu Telu, mereka menghormati Kemaliq untuk upacara adat mereka. Pura Lingsar juga mencakup Telaga Ageng atau Aik Mual, sebuah kolam besar yang digunakan untuk mengairi sawah dan kebun di sekitar desa. Nama Lingsar sendiri berasal dari kata “ling” (wahyu) dan “sar” (jelas), yang diterjemahkan sebagai “wahyu yang jelas.” Daerah ini dikenal subur dan produktif sepanjang tahun, dan air dari Kemaliq di Pura Lingsar menjadi sumber utama keberhasilan pertanian mereka.
Perang topat adalah peristiwa tahunan yang mampu mempersatukan dua kelompok beragama yang berbeda dan telah menjadi daya tarik pariwisata bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Dalam upacara ini, pesan tentang perdamaian, persahabatan, dan kerukunan dalam keberagaman sangat kuat dan berkesan bagi para pengunjung. Melalui tradisi Perang Topat yang berlangsung di Desa Lingsar, Lombok, Indonesia, kita memiliki contoh yang kuat tentang betapa mungkinnya kerukunan antara beragam suku, agama, dan budaya. Perayaan ini bukan hanya peristiwa budaya yang menarik bagi warga setempat dan wisatawan, tetapi juga merupakan pernyataan nyata tentang harmoni yang dapat dicapai ketika kita saling menghormati dan merayakan perbedaan kita. Semoga kisah Perang Topat dapat menjadi inspirasi bagi kita semua, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk mempromosikan moderasi beragama, mendorong kerukunan antarumat beragama, dan menjadikan Indonesia sebagai contoh bagi dunia dalam mewujudkan perdamaian dan toleransi.
Dengan semakin dikenalnya peristiwa ini melalui tulisan, media sosial, dan berbagai platform pariwisata, harapan untuk mempererat kerukunan di Indonesia semakin nyata. Sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya dan keagamaan, kita memiliki kesempatan untuk menginspirasi dunia dan menjadi surga bagi wisatawan yang mencari pengalaman yang tak hanya
indah secara alamiah, tetapi juga penuh dengan makna dan makna yang mendalam. Marilah kita semua, baik warga Indonesia maupun seluruh dunia, bekerja sama untuk mempromosikan nilainilai kerukunan, menghormati perbedaan, dan merayakan keberagaman dalam upaya menciptakan dunia yang lebih baik untuk semua. Dengan kesadaran bersama dan tekad untuk memahami dan menghormati satu sama lain, kita dapat menjadikan Indonesia, khususnya Lombok, sebagai destinasi yang mempromosikan perdamaian, moderasi beragama, dan kerukunan dalam dunia yang semakin terkoneksi ini.
Semoga Perang Topat terus menjadi warisan budaya yang hidup dan menginspirasi generasi mendatang. Sebagai negara yang sering menghadapi tantangan dalam menjaga kerukunan di tengah keberagaman, Perang Topat adalah contoh inspiratif tentang bagaimana moderasi beragama, menghormati perbedaan, dan merayakan keberagaman dapat membantu menciptakan perdamaian dan harmoni dalam masyarakat. Dengan menjadikan tradisi ini sebagai ajang pariwisata yang semakin dikenal, kita dapat mempererat kerukunan dan mempromosikan pesanperdamaian kepada dunia. Melalui semangat Perang Topat dan konsep Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia memiliki peluang unik untuk menjadi teladan global dalam moderasi beragama dan kerukunan antarumat beragama. Semoga peristiwa ini terus memotivasi kita untuk bekerja bersama dalam menciptakan dunia yang lebih damai dan harmonis bagi semua, di mana perbedaan dihormati dan dirayakan. Perang Topat adalah bukti bahwa hal ini memungkinkan dan harus kita teruskan bersama.
Oleh : Naufa Nufail