Mereka Bercerita– Bagian 1
Rubrik Jaringan merupakan salah satu rubrik yang ada di Infomedialink.com yang sengaja disediakan oleh redaksi untuk mengulas tema-tema penting dan berkaitan dengan kepentingan publik. Di dalamnya tak hanya ulasan tentang cerita-cerita yang harus segera direspon, namun juga rubrik ini merupakan sikap “keberpihakan” Infomedialink.com.
Melalui jaringan di berbagai wilayah, rubrik yang merupakan hasil kolaborasi redaksi dengan beberapa jaringan kontributor Infomedialink.com di berbagai wilayah akan memberikan “ruang terbuka” bagi mereka untuk bersuara dan bercerita tentang apa yang terjadi di wilayahnya.
Rubrik Jaringan ini juga secara konsisten akan terbit setiap bulan dengan tema-tema yang bergantian, dan tentu saja akan mengedepankan cerita-cerita yang belum banyak diketahui publik.
Tema liputan edisi bulan ini, menyajikan cerita-cerita baik tentang isu toleransi di masyarakat kita. Ketika liputan ini diselenggarakan, kondisi masyarakat Indonesia dihadapkan pada kondisi melemahnya sikap dan nilai-nilai toleransi hingga kami melihat pentingnya menegakan dan aktualisasi nilai-nilai moderasi baik dalam kehidupan beragama, sosial,norma dan sendi-sendi kehidupan lainnya yang lebih luas.
Liputan edisi ini kami potret dari kelima kota yang dianggap representatif untuk “bicara” soal penting dan indahnya semangat toleransi dalam kehidupan masyarakat. Kelima daerah tersebut di antaranya; Pontianak, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Flores (Nusa Tenggara Timur).
Pada Bagian 1, Redaksi Infomedialink.com akan menyajikan cerita tentang toleransi di Nanga Lanang Nusa Tenggara Timur (NTT). Kontributor Infomedialink.com Florianus Jeprinu Dain yang lebih akrab disapa Pepi ini dengan apik dan bernas menggambarkan cerita baik tentang toleransi di wilayah yang dijuluki dengan sebutan Nusa Terindah Toleransi tersebut. Berikut liputannya.
Persaudaraan Lebih Kuat Dari Agama
Cerita Toleransi Umat Beragama di Nanga Lanang
Nanga Lanang adalah sebuah kampung kecil di pesisir bagian barat Borong, ibu kota Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang letaknya tak jauh dari kota Borong yaitu sekitar 40 menit waktu jarak tempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua.
Saat saya mengunjungi Nanga Lanang pada 14 November 2023 untuk tugas liputan dari Infomedialink.com, jalan menuju kampung sudah rusak parah, hanya sisa-sisa kerikil aspal yang masih berserakan. Di beberapa titik, terdapat genangan air, yang mirip kubangan.
Di Nanga Lanang, saya bertemu dengan Jelani Ahmattu (50) salah satu Imam Masjid Al Hidayat yang rumahnya tak jauh dari perkuburan Islam yang berada di pinggir jalan umum. Ia tiba-tiba menutup percakapannya di handphone, ketika isterinya memberitahukan ada tamu yang mampir di rumah mereka.
Dengan senyum sumringah, Jelani begitu disapa, keluar dari kamar menuju ruang tamu. Ia membentangkan sebuah tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan yang berukuran 1×2 meter. Kami duduk bersila di ruangan yang berukuran 2×3 meter itu, sementara istrinya sedang duduk menjahit sebuah kain, persis di pintu menuju ruang tengah.
Di ruangan itu, terlihat dua buah Tasbih tergantung pada sebuah paku di dinding. Ada juga tulisan kaligrafi yang terpampang di antara foto-foto.
Rumah itu tak jauh dari bibir pantai, kira-kira 20 meter dengan pintu menghadap laut.
Suasana siang itu tampak ramai ketika beberapa ibu sedang mencuci di bagian barat rumah Jelani. Di situ ada sumur, tempat warga menimba air untuk keperluan rumah tangga maupun cuci.
Jelani bercerita, sehari sebelumnya ia baru pulang dari Labuan Bajo, ibu kota Manggarai Barat membawa 100 box ikan untuk dijual. “Saya baru tiba di rumah. Baru sampe dari Labuan Bajo bawa ikan. Saya dan sebagian warga di sini bekerja sebagai nelayan,” katanya.
Berpuluh-puluh tahun Jelani menjalani hidup sebagai nelayan untuk menghidupi keluarga dan pendidikan anak. Dari hasil tangkapan, sebagiannya dijual di Nanga Lanang, sementara yang lain dijual di kampung sekitar.
Ia masih ingat ketika Covid-19, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa, karena hasil tangkapan tidak bisa dijual di luar kampung. Warga tidak bisa keluar masuk karena ada pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
“Selama Covid sejak tahun 2019, kami di sini tidak berdaya. Hidup setengah mati,” katanya.
“Tapi untung tiga tahun lalu, ada Suster dari (agama) Katolik datang di sini bawa bantuan,” kenangnya. Suster merupakan wanita yang hidup dalam kerohanian yang hidup dalam biara Katolik.
“Suster ini orang Manggarai memberi bantuan beras 15 kilogram (Kg) per kepala keluarga, minyak goreng Bimoli, rinso, sabun mandi, mie 6 bungkus per kepala keluarga, dan gula,” sambungnya.
“Saya bilang ke suster ‘suster saya tidak bisa balas jasamu’. Kalau dari segi aliran, kami ini orang Islam, sementara Suster orang Katolik. Tapi Suster berbelas kasih kepada kami,” tutur Jelani.
Sementara ia bercerita tiba-tiba seorang gadis datang membawa pesan undangan dari sebuah keluarga Katolik yang akan melakukan hajatan wae kolang pada Minggu, 19 November 2023. Wae kolang adalah frasa bahasa Manggarai, wae artinya air dan kolang berarti panas. Secara harafiah wae kolang berarti air panas.
Dalam kebiasaan warga di Nanga Lanang, wae kolang berarti acara pengumpulan dana untuk mendukung pendidikan anak yang sedang mengeyam pendidikan di perguruan tinggi.
“Kalau kami di sini sama-sama kumpul uang untuk dukung kuliah. Baik dari anak Muslim maupun Katolik. Semuanya sama kompak,” jelas Jelani.
Bertakdir Hidup di Nanga Lanang
Di kampung Nanga Lanang, keluarga Jelani lahir dan tumbuh besar sebagai umat Islam. Isterinya, Umini Ali (47), keturunan Katolik yang kemudian, karena perkawinan masuk Islam. dari perkawinan, mereka dikaruniai empat orang anak.
Peristiwa nikah beda agama itu kata Jelani, bukanlah hal yang baru bagi keturunannya dan umat beragama di Nanga Lanang.
Dalam cerita lisan yang diwariskan nenek moyangnya, keberadaan umat Islam di Nanga Lanang merupakan hasil pernikahan dengan umat Katolik.
Jelani menjelaskan, berdasarkan silsilah keturunannya, kakek mereka berasal dari Ende di Kabupaten Ende. Ketika tiba di Manggarai, kakek itu menikah dengan seorang perempuan Katolik asal Kampung Todo, Kabupaten Manggarai, lalu berpindah agama.
Keduanya menyusuri pesisir pantai bagian selatan, lalu tinggal di Nanga Lanang.
Sebagai pendatang baru di Nanga Lanang, nenek moyang mereka bersama tiga rekannya beragama Islam menghadap tetua adat (Tua Gendang) di rumah adat (Mbaru Gendang) di kampung Ngencung, meminta persetujuan pemangku adat supaya mendapat tanah dan bisa tinggal di tempat itu.
“Kami punya nenek minta dengan adat Manggarai kapu manuk lele tuak (bawa ayam jantan dan tuak), kepada Tu’a Gendang (kepala rumah adat) supaya bisa tinggal di sini,” katanya mengenang pesan dari leluhurnya. Kapu manuk lele tuak dalam tradisi adat Manggarai merupakan uangkapan penghargaan terhadap otoritas tertentu, seperti pemangku adat untuk urusan adat atau pun meminta sesuatu secara legal.
“Keturunan Tua Gendang mememberikan tanah, sehingga kami lahir di sini,” kenangnya mengutip cerita lisan yang diwariskan nenek moyang.
Tanah yang di pesisir Nanga Lanang itu kata dia, masih dalam wilayah administrasi adat Gendang Ngencung yang saat itu mayoritas penduduknya beragama Katolik.
“Tanah ini sebenarnya milik orang Katolik. Tapi karena mereka berbelas kasih, akhirnya diberikan kepada nenek moyang kami,” jelasnya.
Kata dia, sudah berpuluh-puluh tahun umat Islam tinggal di tempat itu. Seingat Jelani, saat ini sudah empat generasi umat Islam hidup di Nanga Lanang, termasuk dirinya.
Jumlahnya masih sedikit dibandingkan pemeluk agama Katolik. Kendati demikian, kata Jelani, hidup rukun dan damai melanggengkan hidup mereka bersama umat Katolik.
“Apalagi kami di sini ada hubungan kawin mawin. Kadang ada perempuan Islam nikah dengan orang Katolik, masuk Katolik. Ada perempuan Katolik, nikah dengan laki-laki Islam, masuk Islam,” jelasnya.
Dalam urusan adat Manggarai, kata dia, umat Muslim masih menjadi bagian dari Gendang Ngencung. Tiap kali urusan adat, umat Muslim berbaur dengan umat Katolik untuk merayakan upacara adat Manggarai.
“Waktu tahun baru, kami sama-sama buat acara adat di sini. Juga dalam acara nikah, kami gunakan adat Manggarai,” imbuhnya.
“Kami ini saudara kandung, agama boleh beda, tapi tujuan tetap satu,” tambahnya.
Mayoritas Katolik
Saat ini di Nanga Lanang, Desa Bea Ngencung mayoritas penduduknya beragama Katolik. Di desa itu terdapat sembilan RT. Dalam pemetaan dan data desa, umat Muslim mendiami wilayah di RT 01, persis di pinggir pantai. Sementara delapan RT yang lain didominasi oleh umat Katolik.
Dalam data sensus penduduk, saat ini jumlah penduduk di desa Bea Ngencung sebanyak 1.653 jiwa.
“Keluarga Muslim ada 59 kepala keluarga. Jumlah keseluruhannya ada 262 jiwa. Rinciannya, laki-laki 125 orang, perempuan 137 orang. Sementara umat Katolik ada 306 kepala keluarga, jumlahnya 1.391 jiwa, perempuan 756 orang dan laki-laki 635 orang,” jelas Petrus Jehani (29), Sekretaris Desa Bea Ngencung yang ditemui di Nanga Lanang pada Kamis, 17 November 2023.
Sementara di Manggarai Timur, data yang dirilis Kementrian Agama Republik Indonesia Kantor Kementrian Agama Kabupaten Manggarai Timur, dari total 308.540 jiwa penduduk, mayoritasnya pemeluk beragama Katolik.
Dari sembila kecamatan, yakni Borong, Rana Mese, Kota Komba, Elar, Elar Selatan, Sambi Rampas, Poco Ranaka, Poco Ranaka Timur, dalan Lamba Leda, jumlah umat Katolik sebanyak 286.266 jiwa atau 92,8 persen dari jumlah penduduk di kabupaten itu.
Sementara jumlah umat Islam sebanyak 21.087 jiwa atau 6,83 persen. Umat Protestan sebanyak 1.134 jiwa tau 0,37 persen, dan umat Hindu sebanyak 53 jiwa atau 0,02 persen.
Kendati di Nanga Lanang mayoritas umat beragama Katolik, Romo Faustus Emanuel, pastor Paroki Sta. Maria dari Fatima menjelaskan, kehidupan umat Katolik dengan umat Islam di kampung itu sangat damai.
“Hidup kami aman-aman saja di sini. Soal toleransi di sini, ambil standar minimal, tidak mengganggu perayaan ibadah, baik di Gereja perayaan di sini pada hari besar. Kami juga tidak mengganggu ibadat umat Muslim. Di sini juga mereka umat Muslim membiarkan kami merayakan perayaan hari besar. Mereka juga terlibat dalam kepanitian menjaga keamanan,” ungkap imam diosesan Keuskupan Ruteng itu.
Dalam pengamatannya selama dua tahun tugas di paroki itu, Pastor Faustus tidak melihat perbedaan yang mencolok antarumat beragama di Nanga Lanang. Sebab kata dia, dalam banyak hal “umat Muslim dan Katolik saling membantu dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.”
“Dalam hal, pernikahan misalnya, kebanyakan dari mereka memiliki hubungan dekat sebagai keluarga perempuan dan laki-laki,” jelasnya.
Semangat Gotong Royong
Ignatius Datus (52), salah satu tokoh umat Katolik di Nanga Lanang menjelaskan, awal mula Pastor Hans Runkel, SVD asal Jerman Barat, berjasa dalam menamankan semangat toleransi bagi warga Katolik dan Islam, sehingga hidup harmonis .
“Pastor Hans Runkel masuk Nanga Lanang pada tahun 1984 sebelum ia pindah pada tahun 2007,” ungkap ayah empat orang anak itu.
Kata dia, saat awal masuk di Nanga Lanang, pada musim kering Pastor Hans selalu memberi bantuan pangan dari misi, (sebutan untuk komunitas yang dikelola oleh pastor) untuk semua warga.
“Yang paling diperhatikan oleh Pastor Hans adalah umat kita yang Muslim,” katanya.
Sebagai saksi sejarah, kata dia, Pastor Hans yang menggerakkan umat beragama dalam pembangunan awal Gereja Nanga Lanang untuk bergotong royong.
“Sejak pembangunan Gereja pertama tidak pernah pandang bahwa ini Katolik ini Islam. Pokoknya setiap kali hari Jumat dan Sabtu sama-sama umat Kristiani atau Islam ambil pasir dan batu di kali Wae Musur itu untuk membangun Gereja,” ungkapnya.
“Sebaliknya Pastor Hans Runkel memberi bantuan saat pembangunan Masjid dan semua orang Katolik terlibat dalam pembangunan Masjid. Semuanya dilakukan bersama-sama,” sambungnya.
Menurut Jelani, pembangunan Masjid Al Hidayat yang mereka gunakan saat ini menjadi salah satu jejak sejarah keterlibatan Pastor Hans dan umat Katolik.
“Kalau saya pikir, Masjid di Nanga Lanang ini didirikan oleh Pastor paroki pertama orang barat Pater Hans Runkel, SVD. Bayak dia punya dana untuk pembangunan Masjid ini,” kenang Jelani.
Kata dia, semangat gotong royong itu kemudian mempengaruhi kehidupan sosial dan memperkokoh hubungan umat beragama.
“Kerja di atas (Gereja) kami hadir semua. Kerja di sini juga adik-kakak dari Katolik datang di Masjid. Tidak pernah pandang ini siapa. Ini memang sejak kami punya nenek dulu,” katanya.
Budihartono Masrun Sauqy (42), Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Manggarai Timur menjelaskan “selama ini sosial kemasyarakat berjalan dengan baik, gotong royong tepo seliro, tenggang rasa, toleransi berjalan dengan baik.”
“Saling membantu dalam menyelesaikan tempat ibadah adalah hal yang biasa,” katanya saat dikonfirmasi pada Minggu, 19 November 2023.
Coki Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute menilai di Indonesia Timur tradisi gotong royong antarumat beragama telah ada jauh sebelum republik ini berdiri, berakar dalam tradisi masyarakat. “Begitu juga kita lihat di Manado, bahkan di beberapa tempat di Jawa Timur. Sudah bukan hal yang aneh. Inilah mengapa Sukarno mengatakan Ketuhanan kita adalah Ketuhanan yang berkebudayaan,” katanya saat dikonformasi melalui WhatsApp pada Kamis, 16 November 2023
Ia menegaskan, dalam data Setara Institute, kasus intoleransi menurun tapi tidak terlalu signifikan.”
“Beberapa regulasi yang diskriminati menjadi penyebabnya, karena dijadikan dasar argumen bagi kelompok intoleran,” jelasnya.
Akar Budaya
Dalam pengamatan Budihartono, saat ini “kehidupan beragama di Manggarai Timur berjalan secara alamiah karena tradisi dan budaya Manggarai Timur tidak bisa lepas dari hubungan kekerabatan dan kawin mawin, sosial kemasyarakatan.”
“Hal yang biasa saya temukan bahwa ibu bapaknya Katolik, anaknya Islam, mantunya Kristen. Artinya pembauran budaya di Manggarai Timur berjalan dengan baik tanpa memandang agama sebagai sesuatu perbedaan, tetapi sebagai perekat,” katanya.
Hal yang sama juga diakui oleh Anselmus Panggabean,KepalaKantor Kementrian Agama (KUA) Kabupaten Manggarai Timur, bahwa “kesadaran toleransi di Manggarai Timur itu sangat aktif mengakar dalam budaya.”
“Dia tidak melepaskan diri dari budaya Manggarai. Agama tidak membuat umat beragama mengambil jarak. Semuanya duduk sama saat acara adat. Budaya ini yang mengikat kita,” katanya ketika ditemui di ruangannya pada Rabu, 15 November 2023.
Ia menilai, toleransi antarumat beragama “memang hidup karena ada hubungan kawin mawin” antara umat Katolik dan Islam dengan adat dan budaya Manggarai yang sama.
Hubungan kawin mawin itu yang persis dialami Ignatiusketika dirinya menikahi Maria Siti (48), perempuan beragama Islam pada tahun 1996. Hubungan keluarga semakin langgeng dan harmonis ketika dalam beberapa acara adat, keluarga berbaur tanpa memandang agama.
“Dalam acara-acara adat kami berbaur, bahkan sama-sama kerja. Hanya saja sebagai orang Katolik, saya selalu memperhatikan apa saja yang tidak boleh disajikan untuk keluarga saya yang Muslim. Itu tidak boleh disiapkan,” katanya.
“Begitu juga waktu ada duka, kita ikut. Juga kalau ada yang masuk rumah sakit, model kami ke Kupang urus saya punya istri, semua orang dari Muslim, Katolik, datang bawa sumbang. Begitu juga kalau umat Islam yang sakit. Kita sama-sama urus, sumbang. Tidak ada pakai patok besaran sumbangan,” tambahnya.
Hidup rukun dan damai itu juga yang ditunjukkan Jelani, ketika berapa bulan lalu, umat Islam terlibat dalam penjemputan Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat saat kunjungannya ke Paroki Sta. Maria Fatima Nanga Lanang dalam rangka perayaan Sakramen Krisma bagi anak-anak Katolik.
“Saat bapa Uskup datang, kita yang jemput di kali Wae Musur. Acara kepok (acara adat penjemputan tamu di Manggarai), orang Islam yang bawakan. Anak-anak remaja Masjid yang kalung beliau,” kenang Jelani.
Menurut Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Manggarai Timur, Pastor Simon Nama, praktik hidup dalam semangat “toleransi kita di sini berjalan baik karena rohnya dari budaya yang sama yaitu budaya Manggarai.”
Selain itu, dalam refleksinya, toleransi itu sangat tergantung pada ketahanan iman dari pemeluk agama.
“Kalau ia beriman sungguh-sungguh, maka toleransi sangat baik,” katanya.
“Yang membuat warga Nanga Lanang itu rukun dan damai saya kira iman, kepercayaan kepada Tuhan dengan nama dan cara yang berbeda. Kemudian iman itu keluar dalam hidup sehari-hari yang baik, saling menolong, cinta kasih, persaudaraan sejati, saling menghargai dan menghormati,” tambahnya.
“Tetap dibina hidup rukun dan damai. Bukan tidak mungkin tantangan ke depan, ada pihak luar yang mengganggu, menggoda mereka. Bagaimana pertahanan kita untuk menghadapinya?” tanyanya.
Tetap Waspada
Menurut Coki Naipospos sejak awalbenturan antarpemeluk agama tahun 1965 ketika terjadi formalisasi agama. “Setiap warga negara harus memeluk suatu agama tertentu, mulai terjadi kompetisi antaragama dan tersingkirnya agama lokal atau aliran kepercayaan,” katanya.
Selain itu kata dia, terjadinya pembelahan kaum beragama akibat “kompetisi dalam rangka merebut pengaruh di ruang publik, yang terkandung berkelindan dengan perebutan kekuasaan politik lokal.”
“Awal tahun 1980 kondisi diperburuk dengan menyebarnya paham Islam transnasional yang lebih puritan dan kurang menghargai yang berbeda meskipun sesama agama.
Hal itu juga menjadi catatan Pastor Simon, meski praktik toleransi di Manggarai Timur sudah baik, namun ia menyadari bahwa bukan tidak mungkin kedamaian dapat dirusak. Menurutnya, pertikaian antarpemeluk agama di barbagai daerah di Indonesia disinyalir, ada pihak yang memprovokasi sentimen umat beragama.
“Yang membuat tidak rukun itu karena ada kepentingan-kepentingan di luar agama yang sering kali menunggang agama. Contonya kepentingan politik atau ekonomi, kemudian merusak orang beragama dengan tindakan menghalalkan segala cara,” katanya.
Pengaruh atau gerakan itu tidak terwujud apabila “kuatnya bangunan toleransi kita.”
Sementara Anselmus melihat, secara eksplisit dalam beberapa kasus di Indonesia “bahwa umat beragama terganggu ketika ada pihak luar masuk dengan cara pandang yang lebih ekstrim.”
“Generasi sebelumnya, mereka tidak lihat secara lahiriah, tapi pada perilaku yang penting, itu yang menjadi esensi,” katanya.
“Paham-paham dari luar bisa mengguncang kalau kearifan lokal seperti budaya kita tidak kuat,” tambahnya.
Menurut Doni Parera dari LSM ILMU, pengaruh-pengaruh luar yang memprovokasi umat lokal akan mengancam toleransi yang sudah dibangun dan dihidupi warga lokal.
Ia menjelaskan, awal tahun 2000-an di Manggarai terjadi benturan agama akibat isu anjing rabies. Umat beragama disulut oleh isu dari luar yang merusak tatanan kehidupan bersama.
“Di Manggarai Timur, kita masih ingat baik benturan agama itu. Ada pembakaran rumah makan, gara-gara isu rabies yang menyebabkan terjadinya kekacauan. Semuanya itu karena provokasi dan pengaruh dari luar,” katanya saat ditemui di rumahnya pada Rabu, 14 November 2023.
“Itu adalah pengalaman masa lalu yang tidak perlu terulang kembali di masa akan datang,” harapnya.
Edukasi Toleransi
Untuk meminimalisasi pengaruh luar dan sikap intoleransi antarpemeluk agama, Budihartono tekankan pentingnya menanamkan toleransi pada generasi muda.
“Caranya adalah memberikan edukasi, melakukan pendampingan, meningkatkan kegiatan-kegiatan yang membangun semangat toleransi dan kebersamaan dalam keberagaman,” katanya.
Menurut Anselmus, Kantor Kementrian Agama Kabupaten Manggarai Timur hadir untuk kembali menggaungkan toleransi dan kearifan lokal itu “harus benar-benar dijaga.”
Ada beberapa program Kementrian Agama Kabupaten Manggarai Timur yang sudah dilakukan yakni penguatan moderasi dan toleransi agama.
“Pelaksanaannya, hampir semua stakeholder yang kami jumpai selalu menggaungkan yang pertama itu moderasi beragama untuk semua agama,” jelasnya.
“Itu yang kita lakukan di Biting, Kecamatan Elar. Kita lounching kampung moderasi. Terakhir di Mamba, Kecamatan Elar Selatan,” katanya.
Di sekolah-sekolah, kata dia, pihaknya selalu menggaungkan moderasi beragama. “Di sekolah-sekolah, kami kucurkan dana untuk pembinaan iman siswa,” jelasnya.
“Di Kristen itu, kegiatan apa saja selalu ada moderasi beragama. Di Madrasah-Madrasah, juga demikian. Bagaimana moderasi beragama itu menjadi rumah bersama untuk kita semua. Di Katolik, selain peran penyuluh-penyuluh sangat penting, juga dalam MGMP KKG, hampir semua guru Katolik sudah lakukan,” tambahnya.
Ke depan kata dia, “kita perkuat moderasi tokoh agama” karena pemimpin agama berperan penting untuk mencerahkan umat beragama.
“Di sini kita perkuat pemahaman, karena masyarakat kita ini polos. Kita masih bergantung pada pemimpin agama. Ketika pemimpin agama bersuara, itu semua ke bawah langsung reaksi,” katanya.
Pihaknya sudah mengucurkan dana untuk program unggulan moderasi beragama bagi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Salah satunya di Kecamatan Rana Mese.
Ia mengimbau agar umat beragama tetap bersatu tanpa disekat oleh perbedaan.
“Kalau kita sedang membangun jarak dengan yang lain, artinya kita sedang menakuti diri kita sendiri,” tambahnya.
Selain penguatan moderasi tokoh agama, Pastor Simon berharap tokoh-tokoh atau pemimpin agama bisa melakukan “peningkatan iman orang beragama, baik itu agama Islam, Katolik, Hindu, Budha, Protestan, maupun agama atau kepercayaan yang lain.”
sementara di Nanga LanangPastor Faustus berencana, penguatan moderasi beragama itu bisa dilakukan kedua agama dengan cara membuat suatu kenangan saat perayaan keagaaman.
“Kalau nanti ada perayaan Idul Fitri, kita buat sesuatu kenangan buat mereka. Kalau misalnya Natal, panitia libatkan saudara-saudari Muslim. Buat sesuatu supaya dikenang.”
“Sehingga ada jejaknya. Kemudian hari bisa dilihat, ini kenangan dulu saat perayaan Idul Fitri bersama umat Katolik. Ini kenangan Natal kami punya dengan umat Islam,” katanya.
Menurut Coki Naipospos, hal itu bisa terwujud apabila ada “kerja sama yang jujur antarorganisasi keagamaan, pendidikan yang kritis dan terbuka, pemerintah yang sungguh-sungguh ingin merawat kemajemukan.”
Peran Media
Menurut Tantowi Answari dari Serikar Jurnalis Keberagaman (Sejuk) praktik baik toleransi di Nanga Lanang “harus banyak dan secara luas digaungkan” oleh media-media untuk mengedukasi publik.
“Media-media menjadi ruang edukasi yang harus ambil peran sehingga praktik toleransi yang hidup secara spontan, alami, di masyarakat di Flores bisa ditangkap secara baik oleh publik wilayah Indonesia barat sehingga mampu membangun kesadaran baru tentang pentingnya penerimaan dan kerja sama dalam keberagaman,” jelasnya saat dikonformasi pada Jumat, 17 November 2023.
Tantowi menilai, “prinsip kesalingan yang aktif bekerja sama” yang ditunjukkan warga beragama di Nanga Lanang adalah “penerimaan yang baik pada yang berbeda, terhadap yang lain.”
Sebab, toleransi yang terbaik menurut Budihartonoadalah “setiap individu umat beragama dapat memahami agamanya dengan baik.”
“Karena dalam semua agama diajarkan tentang kebaikan kepada sesama. Kita mungkin bukan saudara dalam seiman, tetapi merupakan saudara dalam kemanusiaan karena keyakinan/kepercayaan/agama merupakan hak dasar manusia,” tuturnya. ***