Memotret Toleransi Dari Lima Kota- Semarang


Bagian 2

Mereka Bercerita

Rubrik Suara Akar Rumput merupakan salah satu rubrik di infomedialink.com yang sengaja didedikasikan untuk mengangkat cerita dan suara dari komunitas yang berkaitan dengan kepentingan publik. Rubrik ini merupakan  sikap “keberpihakan” infomedialink.com terhadap perlunya suara dari bawah, akar rumput, untuk dapat diangkat dan didengar oleh berbagai kalangan. Redaksi berkolaborasi dengan jaringan dan kontributor infomedialink.com di berbagai daerah, memberikan “ruang terbuka” bagi mereka untuk bersuara dan bercerita tentang apa yang terjadi di wilayahnya masing-masing.

Infomedialink.com  berusaha  secara konsisten, setiap bulan, menampilkan cerita-cerita dari komunitas dengan tema-tema yang berganti, serta tentu saja mengedepankan cerita-cerita menarik dan belum banyak diketahui publik dengan kemasan penulisan model  feature.

Untuk kajian bulan ini, infomedialink.com mengambil tema tentang isu toleransi, di dalamnya banyak menyajikan cerita baik tentang nilai-nilai yang sudah lama tertanam di masyarakat kita. Kami memilih tema toleransi setelah merefleksikan kondisi masyarakat Indonesia dihadapkan pada melemahnya sikap dan nilai-nilai toleransi.

Kami melihat pentingnya menegakkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai moderasi baik dalam kehidupan beragama, sosial, dan sendi-sendi kehidupan lainnya yang lebih luas. Liputan edisi ini kami potret dari kelima kota yang dianggap representatif untuk “bicara” soal penting dan indahnya semangat toleransi dalam kehidupan masyarakat. Kelima daerah tersebut di antaranya; Pontianak, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Flores (Nusa Tenggara Timur).

Pada Bagian 2,  infomedialink.com akan menyajikan cerita tentang toleransi di Kota Semarang Jawa Tengah. Kontributor infomedialink.com Farhan, Amel, Lala, dan Alena melakukan liputan lapangan untuk mengangkat cerita tentang keberadaan Persaudaaraan Lintas Agama (Pelita). Hasil akhir tulisan matang diselesaikan oleh Lala dan Juno.  Berikut liputannya.

Pelita, Komunitas Pegiat Toleransi

Ratusan tahun lalu, Semarang dikenal sebagai salah satu kota toleran di nusantara. Selain memiliki populasi multi etnik dan multi keyakinan, Semarang juga dikenal memiliki banyak artefak yang menunjukan perpaduan keduanya.

Kota Semarang merupakan kota pesisir, tempat banyak etnis berdatangan dari beragam negeri membawa hal-hal yang berbeda ke kota pesisir utara Pulau Jawa tersebut. Posisi wilayah yang dekat pesisir menjadikan Semarang menjadi salah satu kota yang banyak mengalami perpaduan aspek dari beragam suku, bahasa, budaya dan agama. 

Keragaman yang dimiliki Kota Semarang tak membuat kota ini mengalami banyak konflik, terutama yang berbau agama dan ras. Semuanya tidak bisa dilepaskan dari tingginya rasa saling menghargai perbedaan dan keberadaan antar sesama warganya yang terjaga hingga kini. Salah satu komunitas yang menjaga dan melestarikan sikap luhur tersebut adalah Pelita, akronim dari Persaudaraan Lintas Agama, sebuah wadah yang mengakomodasi persaudaraan warga Semarang tanpa memandang perbedaan agama dan keyakinan.

Infomedialink.com berkesempatan mengunjungikantor Pelita di sebuah bangunan megah berwarna putih bernuansa vintage dengan sentuhan ornamen khas Jawa di Kota Semarang. Cuaca panas kota Semarang, tak menghalangi tuan rumah Budi Setiawan untuk menyambut kedatangan kontributor Infomedialink.com. Seberkas senyum dan sambutan hangat pun kami terima dari tuan rumah. Lebih dulu mempersilahkan kami duduk, tuan rumah segera menghidangkan  sepiring  makanan khas kota Semarang, lumpia. Sebagai pelengkap, kami pun disuguhi segelas jamu hangat hingga membuat kami lupa akan cuaca terik di siang itu.

Budi Setiawan atau yang akrab disapa Wawan hari itu memulai percakapan dengan bercerita soal  toleransi beragama di Kota Semarang. Wawan sendiri oleh komunitasnya ditunjuk sebagai motor komunitas yang banyak bergerak persemaian nilai-nilai inklusif dam toleransi. Dia menjelaskan Pelita mulai berdiri pada  tahun 2016, dilatarbelakangi ketika ada penolakan dari sebagian warga Semarang atas kedatangan Ibu Sinta Nuriyah Wahid, istri presiden Indonesia keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk membuka acara buka bersama. “Saya tak paham betul apa yang menjadi dasar penolakan kelompok-kelompok penentang ini atas kedatangan ibu Sinta” kisahnya.

Namun Wawan menduga ini berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Gus Dur sewaktu menjadi presiden memberi ruang yang sama kepada pemeluk dan keyakinan minoritas, khususnya kalangan Tionghoa. Kejadiannya sendiri sebenarnya bukan di kota Semarang, melainkan di sebuah gereja yang ada di Ungaran. “Mungkin mereka juga curiga, namanya buka bersama kok diadakan di sebuah gereja. Kebetulan acara buka bersama itu juga dihadiri oleh pemeluk agama lainnya, tak hanya muslim. Ini yang membuat mereka curiga dengan gerakan-gerakan seperti ini” lanjutnya.

Peristiwa ini, menurut Wawan, bermula dari ide Romo Budi yang hendak mengadakan acara buka puasa di Gereja Kristus Raja yang terletak di Ungaran. Namun, terjadi penolakan dari Ormas yang mengatasnamakan agama tertentu. Tak kehabisan akal, Romo Budi akhirnya memutuskan untuk memindah lokasi acara buka puasa bersama di Gereja Katolik Yakobus Zebedeus, Pudakpayung, Kota Semarang. Namun, pemindahan lokasi tersebut masih mendapat penolakan. Akhirnya Ibu Sinta Nuriyah hanya menyapa sebentar umat yang sudah menunggunya di halaman gereja dan melanjutkan pemberhentiannya ke Kelurahan Pudakpayung, tempat acara buka puasa bersama akhirnya dilaksanakan.

Program Literasi Inklusif

Upaya penolakan dari sekelompok masyarakat dan tentu juga didukung oleh peristiwa-peristiwa kekerasan atas nama agama, membuat Wawan dan kawan-kawannya terdorong untuk membuat sebuah wadah. Sifat keanggotaan wadah  ini terbuka, tidak hanya dari suku, agama dan kelompok tertentu. ”Keanggotaan kita terbuka, sejak awal pendirian hingga sekarang” kata Wawan.

Menurut Wawan, dibentuknya wadah ini memiliki beberapa tujuan. Diantaranya, pertama ingin menghubungkan beberapa organisasi, lembaga, komunitas, bahkan individu yang bergerak di isu sosial keagamaan di kota Semarang maupun Jawa Tengah. Kedua, ingin menyebarluaskan kebaikan-kebaikan, hal-hal baik ini terkait dengan keberagaman, toleransi ke semua lapisan masyarakat bahkan juga ke pemerintah. Ketiga, bila berkaca dari peristiwa di atas komunitas juga ingin berperan aktif untuk menanamkan nilai-nilai inklusi dan keterbukaan di masyarakat Kota Semarang khususnya.

“Pelita diharapkan bisa memberikan pendampingan baik secara moril maupun secara hukum terhadap kasus-kasus keagamaan yang ada di wilayah Semarang dan sekitarnya” jelas Wawan.

Sebagai sebuah komunitas, Pelita memiliki beberapa program kegiatan yang unik dan bermanfaat. Beberapa di antaranya adalah kegiatan Pondok Damai, Semai, dan Format. Kegiatan Pondok Damai diadakan rutin setahun sekali dengan durasi tiga hari dua malam dan menargetkan peserta dengan usia 19-25 tahun.

Para peserta ini berasal dari berbagai latar belakang agama dan sub-subnya. Misalnya, seperti Islam yang dibagi lagi menjadi NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah dan Syiah, kemudian untuk Agama Buddha ada Theravada dan Buddhayana, Konghucu, Katolik, Kristen, dan Hindu. Nantinya mereka akan menginap di salah satu rumah ibadah dan melakukan tiga sesi kegiatan.

“Yang pertama ini mereka diminta bercerita mengapa mereka memilih agama yang saat itu mereka ikuti. Misalnya muslim ya cerita, kenapa memilih Islam dan seterusnya. Mereka diminta bercerita tentang pengalaman tidak menyenangkan dengan orang yang berbeda agama atau kepercayaan, dan yang ketiga mereka diminta untuk bercerita pengalaman menyenangkan dengan orang yang berbeda agama atau kepercayaan.” tutur Wawan.

Nantinya mereka akan mengunjungi tiga rumah peribadahan lain. Misalnya saja seperti kegiatan Pondok Damai tahun ini yang diselenggarakan di Vihara Tanah Putih yang kemudian dilanjut dengan junjungan ke masjid, pura, dan kesusteran Katolik.

Tak hanya itu, Pelita juga mengadakan kegiatan yang disebut Semai. Berbeda dengan sebelumnya, Semai adalah kegiatan yang menjadikan anak usia 10-13 tahun sebagai sasarannya. Kegiatan ini merupakan kegiatan Kerjasama antara Pelita dengan Institut Ikrar (Ikatan Karya Hidup Rohani Antar Religius).

Kegiatan ini biasanya hanya dilaksanakan selama setengah hari, dari pagi hingga siang. Nantinya anak-anak yang mengikuti kegiatan Semai ini akan berkunjung ke salah satu rumah peribadatan dan akan diberikan buku panduan yang sudah didesain sedemikian rupa agar mudah dipahami. Isi dari buku panduan tersebut antara lain ada pengenalan tempat ibadah, tata cara ibadah agama tersebut, hingga pemuka agama di agama tersebut.

Kegiatan ketiga yang dilakukan oleh Pelita ini bekerja sama dengan Radio JFM, di mana setiap Hari Kamis jam 11 siang  hingga jam 7 malam ada program namanya Forum Antar Umat atau Format. Untuk narasumber pada program Format ini bisa berasal dari berbagai golongan dan tak harus berhubungan dengan agama.

“Nah itu narasumbernya bisa dari mana saja, temanya tidak melulu soal agama. Contohnya tadi tentang keris warisan budaya Nusantara yang diakui dunia. Terus kadang tentang batik. Bisa tentang apa saja. Termasuk kemarin isu Palestina kemarin kami juga membahas dan melihat isu Palestina ini dari sudut pandang kemanusiaan.” tutur  Wawan.

Persekusi & Hambatan Komunitas

Tentunya, sebagai sebuah komunitas, Pelita memiliki beberapa hambatan dalam menangani berbagai kasus, terutama di Kota Semarang, walau saat ini kasus-kasus yang berhubungan dengan intoleransi sudah berkurang, namun masih ada kasus-kasus yang masih ada sangkut pautnya dengan agama dan masih cukup sulit diselesaikan. Masalah ini adalah perizinan pembangunan rumah ibadah. Wawan menuturkan bahwa terkadang alasan dilarangnya pembangunan tempat ibadah itu juga tidak jelas. Walau begitu, Pelita dengan cerdik dapat menyelesaikan masalah ini ‘di bawah tanah’ agar tidak semakin ramai dan melebar kemana-mana.

“Tapi hambatan-hambatan terkait pendirian rumah ibadah masih ada. Cuma kan sebisa mungkin ini kami selesaikan dalam tanda kutip di bawah tanah, supaya tidak muncul ke luar kemudian menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.”

Cerita tentang persekusi dan hambatan yang dialami oleh sebagian umat beragama di Kota Semarang juga dialami oleh umat Hindu.  Menurut Komang Jananuraga atau biasa disapa Komang, umat Hindu juga pernah mengalami persekusi baik dalam ijin pendirian tempat ibadah mau pun dalam hal melakukan kegiatan peribadatan.

Komang sendiri merupakan anggota Keparisadaan Umat Hindu di Pura Agung Giri Natha. Dalam obrolan dengan infomedialink.com Komang menceritakan pengalamannya sebagai umat Hindu yang tergabung dalam komunitas Pelita.

Menurutnya, dia  sudah bergabung ketika masih menjadi mahasiswa, dan sebelumnya masih  bernama Pondok Damai. Awalnya Komang tidak merasakan manfaatnya bergabung bersama Pelita. Bahkan, Komang juga merasa takut untuk mengikuti kegiatan komunitas ini karena pada waktu itu eskalasi kekerasan atas nama agama masih tinggi di Indonesia.

Tapi lambat laun, Komang pun merasa nyaman dan aman. Ia banyak  bertemu dengan teman-teman yang berasal dari berbagai macam latar belakang agama yang berbeda justru membuka pemikirannya dalam beragama dan bersosial.

“Pertama diundang  waktu itu juga takut. Aduh, kok aku diundang acara kayak gini ya? Mau diapain ya? Aku sampai belajar loh, Mas. Sampai belajar agama lagi sampai takut nanti kok di debat atau apa. Acara Pondok Damai itu pertama kali, Jadi, ternyata berlintas Agama itu tidak semenakutkan itu dan se-have fun itu ternyata.” kenangnya.

Bahkan ia mengatakan bahwa, kini acara yang dilaksanakan oleh Pelita lebih efektif dibanding acara yang diusung oleh pemerintah. Komang menjelaskan bahwa pemerintah sempat melakukan usaha untuk menanam jiwa toleransi pada diri anak-anak muda Indonesia, namun dalam acara yang berbentuk seminar itu, banyak peserta yang tidak memperhatikan dan malah memainkan gawainya. Peserta cenderung tidak mendengarkan seminar karena merasa bosan, sehingga kurang interaktif.

Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Pelita yang menurutnya bisa mempersatukan dan mendekatkan teman-teman lintas agama dengan cara yang asyik dan menghibur. Bahkan menurut penuturannya, ejek-mengejek dalam hal agama sudah menjadi hal yang biasa di Komunitas Pelita, dan justru hal-hal seperti itulah yang membuat ikatan kekeluargaan antar anggota semakin erat.

Namun, selama bergabung dengan Pelita tak selamanya urusan keagamaan, terutama yang dirasakan dan dialami oleh Komang berjalan mulus. Ia mengaku, Umat Hindu masih mendapat penolakan dari beberapa kalangan ketika umatnya hendak membangun sarana yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan. Salah satunya adalah saat Umat Hindu di Semarang hendak membangun krematorium.

Komang bercerita bahwa saat Umat Hindu di Semarang hendak membangun krematorium khusus Umat Hindu, pasti menemui kendala. Rencana awal krematorium itu akan dibangun di daerah Kedungmundu, namun warga selalu saja memberi alasan yang menurutnya tidak jelas.

Ditambah lagi dari pihak Pemerintah Kota Semarang tidak menanggapi serius hal tersebut. Hingga akhirnya dengan sangat terpaksa pembangunan krematorium itu dipindah ke daerah Mijen. Pak Komang mengaku sangat kecewa karena masih ada birokrasi yang dipersulit, padahal pembangunan krematorium ini sangat krusial bagi pemeluk Agama Hindu karena dalam Agama Hindu terdapat tata cara tersendiri dalam mengkremasi jenazah.

“Gak tau ya haknya kami sebagai minoritas kayak dientengkan gitu. Apalagi Hindu doang. Ya gak tau ya waktu itu sempet debat dan akhirnya ya sudah lah kita ngalah.” lanjutnya.

Di sini Komang jadi dibuat bertanya-tanya dengan survei dan perangkingan yang dibuat beberapa lembaga yang memasukan Semarang sebagai salah satu kota paling Toleran di Indonesia. Karena menurutnya Semarang belum se-toleran itu dan masih banyak hal yang tertutupi mengenai toleransi beragama.

Walau pun demikian, menurut pria asli Semarang ini mengaku mendapatkan banyak manfaat selama bergabung bersama komunitas Pelita. Ia merasa banyak keuntungan yang ia rasakan secara pribadi maupun secara sosial. Jika ditinjau dari sisi pribadi, Pak Komang merasa dirinya semakin dewasa secara pribadi maupun spiritual. Kemudian jika ditinjau secara sosial, ia merasa bahwa ia semakin banyak memiliki relasi yang membawanya juga pada ladang rezeki.

Ia sangat bersyukur bahwasanya masyarakat di sekitar Pura Agung Giri Natha ini sangat suportif dan toleran. Warga sekitar banyak yang menawarkan diri untuk bekerja di pura sebagai petugas kebersihan walau dirinya bukan penganut Agama Hindu. Selain itu, karang taruna sekitar pun sering mengadakan kegiatan di pura tersebut. Komang bahkan bisa merasakan kehangatan dan rasa kasih sayang yang diberikan oleh penduduk sekitar walau mereka berbeda agama dengannya.

“Akhirnya pura ini kita gak takut ada apa-apa. Karena yang menjaga orang sini. Mereka sayang sama kita. Karang taruna kalau rapat jadi di sini ya, bikin acara di sini.”

Komang yakin, dengan toleransi yang dipadukan dengan keadilan yang merata maka akan menciptakan iklim toleran yang baik. Ia percaya bahwa semua perjuangan yang dilakukannya bersama dengan teman-teman dari Komunitas Pelita bisa berbuah manis. Pada akhirnya, beliau yakin bahwa toleransi dan kemanusiaan bisa mengarahkan segalanya.***

325