Gen Z Bicara Hoaks


Salah satu tantangan di era digital adalah maraknya hoaks. Survey  Opini Publik: Proyeksi dan Mitigasi Penyebaran Gangguan Informasi dalam Pemilu 2024 yang dirilis Safer Internet Lab menyebutkan gangguan informasi politik telah menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia. Frekuensi penggunaan internet yang tinggi juga berkorelasi dengan keberlimpahan informasi dan kepercayaan terhadap gangguan informasi/hoaks. Catatan lainnya dari survey tersebut 78,1% Gen Z (17-22 tahun) cenderung mempercayai hoaks. Prosentase ini lebih besar dibandingkan kelompok usia lainnya. 45,4% responden tidak pernah melakukan verifikasi secara mandiri, dan 81,4% responden tidak pernah mengunjungi situs pengecekan fakta.

Berpijak pada temuan survey Safer Internet Lab di atas, Infomedialink.com  ingin mengajak kelompok mahasiswa dan kampus untuk menjadi agent of change sekaligus menjadi agen anti-hoaks sehingga menciptakan generasi muda yang menjadi trendsetter.   Infomedialink.com melakukan penelusuran di sejumlah kota untuk melihat bagaimana situasi hoaks di kalangan anak muda, khususnya di wilayah kampus. Edisi kali ini, kami akan menurunkan penelusuran kontributor Infomedialink.com di Semarang tentang bagaimana mahasiswa memandang hoaks di media sosial terkait Pemilu 2024.   Berikut liputannya.

“Memilah Fakta dan Hoaks: Dilema Generasi Muda dalam Menghadapi Pemilu 2024 di Panggung Media Sosial”

Bagaimana anak muda menyikapi informasi hoaks yang bertebaran di media sosial sepanjang Pemilu 2024 ini? Kontributor Infomedialink.com mencoba menelusuri mahasiswa di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dalammenyikapi informasi seputar Pemilu 2024 di media sosial. Menurut beberapa narasumber yang kami temui, anak muda termasuk mahasiswa masih menjadi konsumen hoaks di media sosial. Mereka pun juga masih awam dengan teknik-teknik untuk mendeteksi hoaks, sepertiprebunking atau debunking. Termasuk berhubungan dengan situs cek fakta.

Salah seorang narasumber kami, Umi Habibah, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya UNDIP, menceritakan dirinya sering menemukan berita palsu terkait calon presiden atau calon wakil presidenyang beredar melalui media sosial Instagram dan TikTok.  Meskipun dia menegaskan tidak aktif menyimak informasi politik.

“Jujur aku ga ngikutin politik, tapi yang sering kulihat di sosial media tentang itu biasanya menjatuhkan capres-cawapres. Ada yang ngomong jelek tentang capres ini, ada juga yang ngomong baik. Tapi aku ga tahu yang benar mana,” ungkap Ummi Habibah.

Apabila menemukan informasi terkait politik yang meragukan dan membingungkannya,  Ummi lebih memilih untuk berdiskusi dengan teman-temannya yang dianggap lebih paham. Dia menyadari pentingnya mendapatkan sudut pandang dan pemahaman yang lebih luas dari orang-orang di sekitarnya. Diskusi ini menjadi salah satu mekanisme baginya untuk mencari kebenaran di tengah arus informasi yang kompleks dan seringkali ambigu.

Ummi juga mengaku belum mengetahui tata cara untuk mendeteksi hoaks dan bagaimana mengoreksinya. Dia mengaku masih awam dengan istilah debunking  sebagai alat untuk mengonfirmasi kebenaran dari Hoaks yang sudah dicek faktanya.

Sikap Ummi di atas mencerminkan bahwa kesadaran mengenai fenomena hoaks ini sudah mulai muncul di kalangan generasi muda. Kami juga berbincang dengan Bintang Simatupang, juga mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip). Kebetulan dia juga terlibat  sebagai anggota Struktural Tim Pemenangan Muda (TPM) Ganjar-Mahfud. Bintang merasakan urgensi dalam menyampaikan informasi yang akurat kepada masyarakat, terutama saat berhadapan dengan isu hoaks yang melibatkan pasangan calon nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Prof. Mahfud MD.

Hoaks itu banyak macamnya, salah satunya ada yang ditujukan pada Prof. Mahfud MD. Beliau diisukan sebagai seorang yang intoleran terhadap masyarakat non-Islam, padahal faktanya beliau adalah salah satu tokoh yang sangat toleran pada kemajemukan masyarakat Indonesia,” ungkap Bintang yang juga merupakan bagian dari Kader PDI Perjuangan dan aktif dalam Komunitas Juang Jateng serta Banteng Muda Indonesia.

Sebagai kader, Bintang  merasa bertanggungjawab untuk giat menyebarkan informasi-informasi berdasarkan data yang valid serta mengemas setiap informasi dengan fresh agar diterima dengan mudah oleh masyarakat. Dia juga aktif mengonfirmasi kebenaran dari hoaks mengenai Ganjar-Mahfud yang tersebar di media sosial kepada Tim BPH TPM Ganjar-Mahfud Jawa Tengah dan salah satu pengurus DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah.

Pada tingkat yang lebih luas, Komunitas Juang Jateng dan Banteng Muda Indonesia, di mana Bintang aktif berkiprah, juga turut serta dalam upaya edukasi dan literasi informasi. Mereka tidak hanya fokus pada mengonfirmasi hoaks yang berkaitan dengan pasangan Ganjar-Mahfud, tetapi juga berkomitmen untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat seputar pentingnya menyaring informasi dan tidak mudah terpengaruh oleh berita palsu.

Dalam melanjutkan eksplorasi pandangan generasi muda terhadap hoaks, penuturan narasumber yang enggan disebutkan namanya memberikan cahaya baru terkait tantangan di dunia media sosial. Narasumber ini, kebetulan mengaku sebagai pendukung dari pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, memberikan wawasan yang menarik mengenai cara anak muda memandang informasi yang tersebar di media sosial, khususnya TikTok.

Menurutnya, sebagian besar anak muda di lingkunganya menghadapi kesulitan dalam menyaring informasi yang valid. Media sosial, khususnya TikTok, menjadi sumber utama informasi bagi mereka. Dengan banyaknya konten berupa potongan video dan adanya fenomena echo chamber, informasi yang diterima cenderung sesuai dengan kehendak mereka. Ketika dihadapkan dengan data yang tidak sejalan dengan pandangan pribadi, mereka lebih cenderung menolaknya.

Terkait pemahaman terhadap hoaks, anak muda di kota tersebut menyadari bahwa informasi palsu adalah hal yang salah. Namun, kebanyakan dari mereka enggan untuk melakukan pencarian informasi lebih lanjut, meskipun memiliki kemampuan untuk membedakan jenis informasi seperti hoaks, misinformasi, dan disinformasi. Hal ini menggambarkan kurangnya motivasi untuk melakukan verifikasi dan menggali kebenaran di balik suatu informasi.

Ketika ditanya mengenai jenis hoaks yang sering mereka dapatkan, narasumber menjelaskan bahwa isu politik, terutama yang berhubungan dengan Pilpres, menjadi sorotan utama. Buzzer-buzzer yang sering memotong dan memelintir berita politik menjadi pemicu utama penyebaran informasi palsu di kalangan anak muda tersebut.

Pentingnya literasi digital dan kritis di kalangan generasi muda menjadi semakin nyata. Hal ini tergambar dari kesediaan mereka untuk menjadi agen anti-Hoaks jika informasi yang mereka terima sesuai dengan keyakinan pribadi. Meskipun masih kurang akrab dengan istilah ‘Debunking’ mereka mengakui bahwa langkah-langkah perlawanan terhadap informasi palsu perlu diambil.

Dalam menghadapi fenomena Hoaks menjelang Pemilu 2024, generasi muda diharapkan lebih aktif dalam mencari kebenaran, melakukan fact-checking, dan tidak serta merta menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Literasi digital dan pemahaman akan cara menyaring informasi di dunia maya perlu ditingkatkan agar mereka dapat menjaga integritas informasi yang mereka konsumsi dan sebarkan.

Selain menjadi kewajiban generasi muda untuk selalu menyaring setiap informasi yang ada di media sosial, tentunya sudah menjadi tugas setiap pihak yang bersangkutan untuk tetap menyebarkan informasi berbasis data tanpa ada tujuan tertentu untuk menjatuhkan pihak lainnya.

Pemilu merupakan momen penting yang akan selalu dilaksanakan. Tentunya, memilih seorang pemimpin bagi negara bukanlah hal yang bisa disepelekan. Setiap warga negara membutuhkan informasi yang benar terlebih terkait para calon pemimpin bangsa. Berita yang tersebar di media sosial adalah bagian dari sumber informasi masyarakat yang tentunya akan digunakan bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk menilai dan mempertimbangkan siapa yang layak untuk menjadi pemimpin negara.

Sebagai contoh, pada media sosial, X, kini tersedia fitur untuk melakukan verifikasi atau klarifikasi terkait informasi yang diposting oleh penggunanya. Seseorang dapat menambahkan informasi yang tepat untuk setiap postingan yang dianggap Hoaks. Bentuk kemajuan teknologi seperti yang dimiliki X tersebut akan mempermudah penggunanya untuk mengetahui apakah informasi tersebut benar atau salah.

Tak hanya itu, beberapa masyarakat yang aktif di media sosial dan lebih melek terhadap politik tentunya memiliki ruang bebas untuk menyebarkan informasi yang tepat di media sosial. Fitur komentar dan balasan adalah media yang dapat mereka gunakan untuk memperkuat kebenaran daripada sebuah postingan Hoaks.

Pengguna media sosial yang bijak tentunya akan dengan kesadaran membagikan informasi kepada masyarakat sebagai bentuk edukasi dan juga bantuan untuk menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin. Pengguna media sosial seperti itulah yang dibutuhkan generasi muda untuk terus aktif dalam ruang bebas berekspresi, berpendapat, dan bediskusi mengenai politik. Sekaligus sebagai bentuk edukasi kepada generasi muda untuk tetap mencari, menemukan, dan mengutamakan fakta.

Penulis:

Marricy

Zulkifli Muhammad

Reporter:

Alberto

Victoria

Farhan Prabu

191