Memotret Toleransi Dari Lima Kota-Bandung


Bagian 3

Mereka BerceritaBagian 3

Rubrik Suara Akar Rumput merupakan salah satu rubrik di infomedialink.com yang sengaja didedikasikan untuk mengangkat cerita dan suara dari komunitas yang berkaitan dengan kepentingan publik. Rubrik ini merupakan  sikap “keberpihakan” infomedialink.com terhadap perlunya suara dari bawah, akar rumput, untuk dapat diangkat dan didengar oleh berbagai kalangan. Redaksi berkolaborasi dengan jaringan dan kontributor infomedialink.com di berbagai daerah, memberikan “ruang terbuka” bagi mereka untuk bersuara dan bercerita tentang apa yang terjadi di wilayahnya masing-masing.

Infomedialink.com  berusaha  secara konsisten, setiap bulan, menampilkan cerita-cerita dari komunitas dengan tema-tema yang berganti, serta tentu saja mengedepankan cerita-cerita menarik dan belum banyak diketahui publik dengan kemasan penulisan model  feature.

Untuk kajian bulan ini, infomedialink.com mengambil tema tentang isu toleransi, di dalamnya banyak menyajikan cerita baik tentang nilai-nilai yang sudah lama tertanam di masyarakat kita. Kami memilih tema toleransi setelah merefleksikan kondisi masyarakat Indonesia dihadapkan pada melemahnya sikap dan nilai-nilai toleransi.

Kami melihat pentingnya menegakkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai moderasi baik dalam kehidupan beragama, sosial, dan sendi-sendi kehidupan lainnya yang lebih luas. Liputan edisi ini kami potret dari kelima kota yang dianggap representatif untuk “bicara” soal penting dan indahnya semangat toleransi dalam kehidupan masyarakat. Kelima daerah tersebut di antaranya; Pontianak, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Flores (Nusa Tenggara Timur).

Pada Bagian 3 ini, Infomedialink.com akan menyajikan cerita bagaimana toleransi berkembang di Kota Bandung. Kontributor Infomedialink.com Lista Amalia dan Ilham Ahmad Nazar melakukan liputan langsung ke lapangan guna mengeksplorasi tradisi toleransi yang sejak lama mengakar kuat di masyarakat Priangan tersebut.   Berikut liputannya.

Hidup Harmonis di Kampung Toleransi

“Tuhan sedang tersenyum ketika menciptakan kota Bandung”. Pepatah lama itu tak berlebihan untuk menggambarkan kondisi kota Bandung. Selain memiliki  alam yang sejuk dan indah, Bandung juga dikenal sebagai kota yang damai, ramah dan saling menghargai.

Anda tak ingin mengalami bosan ketika melakukan perjalanan keluar kota? Datanglah ke kota Bandung. Rasa bosan dan jenuh anda akan terobati dengan banyaknya suguhan yang tersaji di Kota Kembang ini.

Kita tak akan kehabisan cerita di sini karena banyak predikat yang menempel dengan kata Bandung. Dikenal sebagai salah satu surga kuliner, kota mode dan seni, kota sejuk, kota terpadat, dan tentu saja kita mengenal kota ini juga dengan keramahan warganya.

Sebagai salah satu kota terpadat di Asia membuat Bandung menjadi tempat tujuan berbagai suku, budaya dan agama berkumpul.  Tentu semuanya tak selalu mendatangkan dampak positif, tapi juga berpotensi menimbulkan dampak yang kurang baik.

Salah satu potensi kurang baik itu adalah  potensi konflik yang bersumber dari keanekaragaman sosial tersebut jika tidak mendapat pengelolaan kurang baik dari pemerintah atau pun warganya.  Beruntung masyarakat Bandung memiliki karakter ramah dan welcome terhadap pendatang, sehingga membuat kota ini jarang mengalami eskalasi kekerasan baik yang berbau sara atau pun kekerasan horisontal lainnya.

Karakter warga kota Bandung yang seperti itu membuat kota ini dikenal sebagai salah satu kota toleransi yang menyuguhkan pemandangan berbagai kelompok agama hidup berdampingan, dengan ditandai adanya sejumlah rumah ibadah tertua yang tercatat sejak zaman kolonial Belanda.

Rumah-rumah ibadah tertua di Bandung ini tidak hanya menjadi tempat penting bagi masyarakat Bandung, tetapi juga telah menjadi bangunan bersejarah yang masih berdiri dan berfungsi dengan baik. Tak jarang sejarah dan arsitekturnya menjadi destinasi wisata religi pilihan wisatawan dari berbagai daerah.

Sikap ramah dan welcome warga Bandung terhadap sesama menjadi modal untuk menciptakan kehidupan  yang aman dan  menjunjung sikap toleransi sebagai modal utama membentuk kehidupan yang rukun dan harmonis di tengah kebudayaan pluralisme.

Lawan Stereotip Dengan Positif

Hampir setiap tahun, ada lembaga nirlaba yang selalu merilis hasil survey dan riset untuk mengukur tingkat kehidupan dan toleransi antar warganya. Di dalamnya juga ada indeks penilaian terkait dengan kebebasan bergama dan berkeyakinan, yang merupakan salah satu hak yang dilindungi konstitusi.

Dalam hasil survey dan riset tersebut, Jawa Barat menjadi salah satu propinsi yang mendapat angka capaian kurang bagus, dan tentu saja kota Bandung sebagai ibukotanya menjadi salah satu ukuran. Kota ini dinilai baik dari segi kebijakan regulasi atau pun nilai-nilai kehidupan warganya masih memiliki standar penilaian yang jauh dari ideal untuk sebuah kota besar yang pluralis.

Penasaran dengan hasil survey dan riset tersebut, kontributor Infomedialink.com pun tergerak  turun lapangan untuk melakukan cek uji fakta apakah sikap “intoleran” menjadi salah satu ciri warga Bandung? Apakah penilaian survey dan riset itu juga berpengaruh dalam kehidupan warga Bandung yang multietnik, multi bahasa, dan tentu saja multi agama dan keyakinan?

Hari itu Infomedialink.com  menemukan fakta baik di balik certa-cerita miring soal warga kota ini. Perjalanan dimulai dari wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah kota Bandung sebagai area toleransi yaitu di lima kampung di antaranya  Gang Luna, Paledang, Dian Permai, Balong Gede, dan Kampung Toleransi Kebon Jeruk. Keberadaan kelima kampung itu sudah lama, dan nilai-nilai kehidupan di dalamnya juga masih terpelihara hingga sekarang. 

Pemerintah kota Bandung pun menetapkan kelima kampung tersebut menjadi semacam laboratorium “toleransi” pada tahun 2017. Penetapan ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam mengapresiasi kepada  toleransi yang baik dan positif.  Ini juga sekaligus menandai tingginya nilai-nilai toleransi  sebagai pegangan kehidupan warga.

Terkait dengan hasil survey dan riset yang menempatkan kota Bandung sebagai kota yang memiliki indeks kurang baik, warga Bandung pun tak ambil pusing. “Kami tak tau soal itu. Kami tetap menjalankan sikap saling menghargai, saling bantu, dan saling jaga” ujar Enjang Muliadi kepada Infomedialink.com.

Menurut Enjang, watak dan sifat toleran ini sudah dimiliki jaman nenek moyang. “Kami berfikir positif saja soal ini” lanjutnya.

Seakan tidak memperdulikan penilaian dari sebuah lembaga nirlaba yang menempatkan kota Bandung sebagai salah satu kota dengan indeks toleransi yang kurang baik, kehidupan antar suku, agama dan budaya di kota ini berjalan penuh keharmonisan.

Apa yang dikatakan Enjang Muliadi bukanlah hal mengada-ada. Bagi warga Bandung, sikap saling menghargai dan toleransi memang sudah menjadi nilai warisan dan tradisi sejak nenek moyang. Sebagai contoh, Kecamatan Andir misalnya. Awalnya wilayah ini merupakan tempat tinggal mayoritas  kaum non pribumi dengan berbagai macam agama. Namun seiring waktu berjalan, kaum pribumi mulai berdatangan dan meninggali tempat ini berbaur dengan non pribumi yang sudah lebih dulu tinggal.

Pembaruan tersebut berlangsung alami dan tanpa ada gesekan hingga sekarang. Wilayah Andir sekarang dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku di antaranya  suku Sunda, jawa, Madura, Cina, dan masyarakat luar pulau Jawa. Begtu juga dengan agama, di Andir tercatat  ada beberapa agama yang dianut seperti  Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha.

Perbedaan itu tetap terjaga tak hanya dilihat dari pemeluknya saja. Sejumlah tempat ibadah pun tersedia di Kampung Toleransi ini seperti kelenteng Vihara Satya Budhi, Vihara Tanda Bhakti untuk masyarakat Hindu,  Masjid Al Hasanah,  Gereja Bethel Tabernakel. Rumah ibadah yang ada dalam satu kawasan ini pun jaraknya berdekatan dan hidup damai.

Saling Jaga, Walau Berbeda

Suasana toleransi beragama sudah terasa sejak kita memasuki wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Kecamatan Andir, terutama di RW 08, yang memiliki total penduduk sekitar 2000 jiwa. Secara khusus Infomedialink.com mendatangi wilayah ini guna melihat secara langsung praktik toleransi di sana.

Tak hanya sikap saling toleran, warga di sana juga mempraktikkan sikap saling bantu, saling jaga,  dan saling memperdulikan antar mereka. Misalnya:  saling menolong dan menengok tetangganya dari agama lain yang sedang sakit, mampu berkomunikasi tanpa membicarakan agama dan menyinggung kepada warga antarumat beragama yang lain, serta para pendatang pun mau belajar bahasa Sunda dan bahasa Indonesia untuk bisa berkomunikasi dengan warga lainnya.

Salah satu bentuk sikap toleransi di bidang keagamaan adalah adanya sikap saling peduli dan membantu setiap perayaan keagamaan tanpa memandang apakah itu agamanya sediri atau bukan. Mereka sudah spontanitas terpanggil untuk ikut terlibat aktif.

”Sebetulnya di RW 08 sendiri sudah sejak dulu hidup dalam balutan toleransi. Jauh sebelum ditetapkan oleh Pemkot Bandung menjadi Kampung Toleransi. Sikap toleransi ini sendiri sudah menjadi warisan turun temurun,” ungkap Idan Purnama kepada Infomedialink.com.

Menurut Idan yang juga menjabat sebagai Ketua RW 08 sikap gotong royong  masyarakat RW 08 lakukan sudah hal menjadi umum dilakukan masyarakat di sini. ”Jadi memang sikap saling menghargai dan toleransi sudah terbiasa terjadi sehari-hari di lingkungan kita” lanjutnya.

Bahkan, kata Idan sikap saling toleransi dan tidak ikut campur terkait dengan agama dan keyakinan di lingkungannya ada satu rumah yang memiliki agama yang berbeda-beda.  ”Disini juga ada satu keluarga yang didalamnya berisi empat agama berbeda. Mereka tetap satu dalam bentuk keluarga dengan menjunjung tinggi sikap toleransi dengan menghargai kepercayaanya masing-masing” tegas Idan penuh semangat.

Senada dengan Idan Purnama, Apin yang juga merupakan  seorang warga RW 08 mengaku sering terlibat saat sedang perayaan hari besar keagamaan, walau pun bukan hari keagamaannya sendiri yaitu Islam.  Dirinya mengaku bangga menjadi bagian dari kampung Toleransi dan juga menjadi warga kota Bandung. Sebab toleransi bagi Apin merupakan hal yang perlu dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Cerita Idan dan Apin yang muslim dan bangga dengan toleransi di RW 08  Andir ini juga ternyata menular ke Heny yang seorang Tionghoa dan pemeluk Budha. Menurutnya, sebagai minoritas ada ketakutan dan kekhawatiran ketika tinggal di wilayah mayoritas. Dirinya khawatir tidak bebas menjalankan hidup, menjalankan keyakinannya dengan aman. Namun bayangan Heny pupus semenjak tinggal di wilayah RW 08 Andir ini. “Terlebih ketika wilayahnya di tetapkan sebagai kampung Toleransi oleh pemerintah Kota Bandung, saya sebagai pengurus  Vihara Tanda Bhakti bangga dan tambah nyaman” ujarnya.

Pengakuan sama juga dilontarkan Peggy. Menurut pengurus gereja ini, pihaknya merasa terjaga dengan kehidupan yang dijalankan masyarakat kota Bandung khususnya wilayah RW 08. Gerejanya, menurut Pegy saat ini memiliki ribuan jemaat, dan saat ada kegiatan ibadat sering membludak baik dari jemaat yang datang atau pun jumlah kendaraan.

“Warga di sini ikut turun tangan untuk membantu mengatur agar kegiatan ibadat ini tidak mengganggu warga lainnya. Mereka bantu secara spontanitas tanpa kita minta, dan itu secara rutin mereka melakukannya,” ujar Pegy.

Diakui Pegy, kepedulian warga Andir ini di luar bayangannya. Setiap ada hari besar keagamaannya, banyak warga yang ikut turun tangan membantu tanpa diminta  mulai dari mengecat tembok gereja, memasang pita dan pohon natal, mengangkat mimbar. Dan mereka berasal dari saudara kita yang berbeda agama,” lanjutnya.

Pengakuan Idan Purnama, Apin, Heny dan Pegy adalah sekelumit cerita indah tentang toleransi di RW 8 Andir Kota Bandung yang datang dari lubuk hati mereka masing-masing. Mereka berani bercerita karena berkat sikap toleran yang diwariskan leluhurnya dan mereka mampu menjaga hingga kini membuat kehidupan mereka menjadi aman, damai, dan tentu saja kompak.

Kekompakan dan kepedulian warga Bandung yang multietnis dan multi keyakinan ini semakin memperkuat keyakinan kita tentang pentingnya nilai-nilai toleransi dijalankan dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan adalah keniscayaan yang tidak bisa ditentang, dan berbeda bukan berarti bermusuhan. Perbedaan harus menjadi irama yang ritmenya kita atur sehingga dapat membentuk masyarakat harmonis dan sejahtera.*****

289