OCFI Sebut Mekanisme Pendanaan BioCF ISFL Bebani APBD


Provinsi Jambi Tengah melaksanakan program BioCarbon Fund plus-Initiative for Sustainable Forest Lanscape (BioCF ISFL) melalui proyek Jambi Sustainable Landscape Management Project (J-SLMP). Program yang difasilitasi dana multilateral dan didukung oleh negara donor yang dikelola oleh Bank Dunia ini menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 14 juta MtonCO2e hingga 2026 mendatang dengan insentif sebesar 70 juta dolar AS melalui skema Result Based Payment (RBP).

Dalam tahap Pre-Investment ini, proyek pengelolaan lahan berkelanjutan Jambi (J-SLMP) mendapatkan dana hibah sebesar Rp82,38 miliar untuk periode 2022 – 2024 dengan skema on granting atau penerusan hibah. Rinciannya, 2022 sebesar Rp32,7 miliar, 2023 sebesar Rp24,3 miliar, 2024 sebesar Rp16 miliar, dan 2025 sebesar Rp9,34 miliar.

Dana tersebut dikelola oleh lima organisasi perangkat daerah di provinsi jambi yaitu Bappeda, Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Peternakan (DTHP) untuk pencapaian target penurunan gas rumah kaca di Provinsi Jambi. Selain itu, terdapat empat satuan kerja daerah yang turut mengelola dana tersebut, yaitu KPH Hilir Sarolangun, KPH Bungo, KPH Tanjung Jabung Barat, KPH Merangin.

Peneliti OCFI Rahmat Lahangi mengatakan, mekanisme penganggaran, pengalokasian, dan pelaksanaan program BioCF ISFL sangat tergantung terhadap kemampuan fiskal daerah.

“Hal ini cenderung membebani keuangan daerah dan mempengaruhi dukungan anggaran untuk program prioritas daerah lainnya di organisasi perangkat daerah pelaksana program BioCF ISFL,” terang Rahmat dalam diskusi bertajuk “Tata Kelola Pendanaan Perubahan Iklim di Provinsi Jambi” di Jambi, 29 Januari 2023.

Rahmat menjelaskan, Provinsi Jambi mengalami keterbatasan fiskal untuk menyiapkan dana talangan. Saat pengalokasian anggaran untuk program BioCF ISFL Jambi, OPD yang melaksanakan program BioCF memfokuskan anggarannya untuk mendukung kelancaran program tersebut. Di sisi lain, program dan kegiatan prioritas OPD/PPIU lainnya tidak memiliki dukungan anggaran yang memadai.

Begitu juga dari segi perencanaan, mekanisme on granting juga cenderung membatasi keterlibatan masyarakat untuk mengusulkan program dan kegiatan terkait penanganan perubahan iklim.  “Karena program dan kegiatan telah ditetapkan oleh Executing Agency (Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Dirjen PPI KLHK) dan World Bank,” tegas Rahmat.          

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Sekretariat BioCF ISFL Jambi Sepdinal mengungkapkan bahwa dana hibah program tersebut tidak serta merta menambah pagu anggaran OPD terkait dalam tahun anggaran berjalan.

“Misalnya, pada 2022 kami mendapatkan dana Rp32 miliar dan dana tersebut kami sebarkan di 5 OPD. Katakahlah Dinas Perkebunan kami membayangkan awalnya sebesar Rp20 miliar tetapi dengan adanya program BioCF menjadi Rp25 miliar di tahun itu. Ternyata prosesnya tidak dimungkinkan untuk bertamabah sehingga pagu alokasi tetap 2Rp0 miliar, sementara ada tambahan kegiatan yaitu BioCF,” jelas Sepdinal.

Selain itu, lanjut dia, Sekretariat BioCF juga mengalami kesulitan dengan adanya perubahan standar-standar yang tidak cocok dan hanya bisa dilakukan revisi saat anggaran perubahan antara Oktober hingga November. “Sementara program harusnya mencapai 100 persen di Oktober dan ini merupakan kelemahan bagi kita. Harusnya bisa disamkan dengan APBN yang di daerah dapat di top up setiap bulan,” terang dia.

Kendati demikian, Sepdinal berharap program BioCF ISFL bisa on the track. “Dan kami menargetkan pengurangan emisi 14 juta tCO2 agar kami mendapatkan anggaran dari Bank Dunia 70 juta USD jika target itu terpenuhi,” tandas dia.

90