Pendidikan Sebagai Alat Perekat Kebhinekaan


oleh Ramadhani Syazali Sira. – Dhani Dust
Lomba Karya Tulis #AnakMudaLawanIntoleransi


Kekokohan persatuan di Indonesia yang sudah terjaga sangat baik selama ini. Yang dilandasi dengan semboyan kuat yang didengungkan para Founding Parents kita yaitu, Bhineka Tunggal Ika, yang termuat juga dalam simbol negara, yang disimbolkan tercengkram erat di kaki sang garuda. Seolah menandakan bahwa persatuan adalah landasan dasar dari bersatunya bangsa Nusantara ini, dan keberagaman tidak menjadikan alasan untuk tidak bersatu. Keberagaman sering disebut sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, RAS, warna kulit dan banyak lagi. Tak sedikit pula yang menafsirkan persatuan sebagai satu pandangan tunggal yang absolut. Hal ini bertolak belakang dengan landasan persatuan yang mana adalah keberagaman itu sendiri. Karena dua dasar tersebut yang mulai berbenturan satu sama lain, maka timbulah satu dampak yang cenderung negatif yang belakangan ini dirasakan sebagian masyakat Indonesia yaitu perpecahan. Para tokoh – tokoh tak susah payah menyebutkan penyebab dari degradasi moral, spiritual serta intelektual ini disebabkan karena pengaruh budaya asing, objek yang sering disoroti tak lain adalah para pemuda. Pengaruh globalisasi jadi kambing hitam atas semuanya. Tentu keretakan soal persatuan bangsa ini harus segera diatasi, bukan makin diperkeruh dengan saling melemparkan bola api.Selain itu pemuda di Indonesia sedang menghadapi tanggung jawab besar perubahan zaman, dengan masifnya praktik – praktik Kapitalisme dan Neoliberalisme. Ditambah dengan beban mempertahankan keutuhan persatuan bangsa yang makin hari sering dirusak sendiri citranya oleh para tokoh nasional. Dengan selalu mempertontonkan orkestrasi polarisasi disegala lini.

Pada krisis kebangsaan semacam ini, dunia pendidikan mungkin menjadi salah satu pucuk pengharapan di masa mendatang. Hal ini selaras dengan upaya dalam mengimplementasikan isi pembukaan undang- undang dasar Negara Republik Indonesia yang bertuliskan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka mengkokohkan persatuan berbangsa dan bernegara, tentu mata pelajaran yang berakarkan keilmuan sosial lebih tepat dihidangkan kepada para penerus bangsa. Dengan tetap menekankan nilai – nilai keberagaman dan moralitas bermasyarakat.


Dalam Good Education In An Age of Measurement dalam tulisannya menyatakan bahwa fungsi pendidikan antara lain kualifikasi, sosialisasi, dan subyektifikasi. Namun nampaknya Pendidikan di Indonesia tidak menerapkan apa yang dipaparkan diatas. Bagaimana bisa persatuan dalam keberagaman itu terwujud di era arus cepat informasi, sedangkan praktiknya banyak menggunakan doktrinasi pendidik terhadapa perserta didik. Guru adalah pemeran utama dalam dunia pendidikan itu sendiri, karena ialah yang bersentuhan langsung dengan para peserta didik sang bibit penerus peradaban. Oleh karena itu maka wajib hukumnya para pendidik memiliki spirit mendidik tinggi. Namun hal ini bertolak belakang dengan pendapatan yang diperoleh para pendidik di Indonesia. keringatnya di pagi hari seolah berkelanjutan tak kunjung diseka karena pendapat tak sebanding dengan pengabdiannya.


Dengan pendapatan sedemikian seadanya maka tak heran orientasi mendidik para pendidik cenderung lemah. Hal ini juga didasarkan oleh buruknya kualifikasi para pendidik saat sedang menempuh pendidikannya. Memang betul masih ada beberapa pendidik berkualitas di negeri ini, yang masih bisa menghadirkan pola pendidikan hadap masalah seperti apa yang dikemukakan oleh pendidik dari Brazil yaitu Paulo Freire. Namun tak sedikit pula para pendidik yang pola ajarnya terdikte oleh petahana.
Polarisasi yang terjadi belakangan ini tidak jarang merubah cara pandang banyak masyarakat. Tidak terkecuali para kaum terdidik seperti para pendidik itu sendiri. Pandangan politik tertentu sering kali masuk di ruang ruang kelas. Sehingga objektifitas pengetahuan berkurang tergeserkan oleh subjektifitas individua tau kelompok tertentu.

Ditengah krisis identitas kebangsaan seperti ini, yang disebabkan banyak faktor yang salah satunya adalah penyeberan informasi yang terlampau cepat. Maka dipandang perlu para pendidik mengembalikan marwah persatuan itu disegala aspeknya. Karena sosok guru bukan hanya menyajikan pendidikan secara formal dan normatif tapi juga ada aspek moralitas, spiritualitas dan norma – norma sosial. Tak salah menyebutkan pemerintah berperan besar dalam dunia pendidikan ini karena besaran anggaran yang dikucurkan untuk dunia pendidikan sebesar 20 persen dari keseluruhan jumlah APBN mengutip pernyataan Wakil Menteri Keuangan Suahasil

Nazara, mengatakan anggaran pendidikan akan mencapai Rp612 triliun pada 2023. Anggaran ini sekitar 20 persen dari anggaran belanja yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 sebesar Rp3.061 triliun pada tahun depan. Dengan rincian dana seperti yang telah disebutkan, pemerintah merencakan pemerataan fasilitas pendidikan. Namun jangan dilupakan pula aspek kualifikasi para pendidik serta kesejahteraannya agar supaya dapat menelurkan generasi penerus yang mampu menjaga kebhinekaan di Republik Indonesia. Ketika bicara soal kemampuan penalaran dan kedewasaan berpikir dalam rangka menumbuhkan kekokohan persatuan bangsa, maka butuh proses panjang dalam meraihnya, tetapi tentu proses ini bisa dipercepat aktualisasinya dengan perhatian penuh dari pemangku kebijakan dari tingkat pusat maupun daerah.


Dipandang perlu untuk menyelenggarakan pelatihan khusus yang cukup baik dan tidak serta merta pelatihan formalitas yang sebatas untuk menggugurkan kewajiban semata. Dan pemerintah dalam hal ini perlu masif pelaksanaannya untuk menyiapkan tenaga pendidik yang berkualitas yang dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Kementrian pendidikan serta kejelasan dari pada segi penghidupan para tenaga pendidik yang telah selesai pelatihan. Karena apabila tidak ditanggapi dengan perhatian penuh maka kebhinekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama, RAS, yang telah terpupuk sejak kemerdekaan, justru bisa berbalik membinasakan persatuan itu sendiri. Seperti yang diucapkan Presiden pertama Republik Indonesia yang berbunyi “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”


Sebagaimana pula diucapkan Presiden Joko Widodo bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) adalah kunci mencapai vis Indonesia Emas 2045. Terlepas dari apa maksud dari pernyataan Presiden ke – 7 itu. Sebagai Masyarakat Indonesia yang gandrung akan kemajuan, tentu pernyataan tersebut tercium harum sebagai harapan akan angin segar perubahan. Tak ada waktu bersantai dalam terus mengupayakan kemajuan Indonesia dari berbagai macam bidang, entah ekonomi, pendidikan ataupun kesehatan dan teknologi. Dunia telah berubah terlalu cepat, apabila Indonesia tidak ingin terhempas pada kemajuan dunia maka salah satu jalan ialah pengupayaan akan perubahan secepatnya. Dalam konteks memperkokoh kesatuan dalam bingkai keberagaman. Diperlukan pula sosok pemimpin yang humanis dan mencitrakan kedamaian di tengah persimpangan perubahan zaman seperti saat ini. Mengingat penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara yang sedang menurun akibat beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini. Karena dalam kacamata bernegara hal ini bisa menjadi buruk apabila tidak segera teratasi.


Tutup penulis sebagai kesimpulan antara lain, perlu adanya pembangunan di bidang pendidikan untuk menanggulangi perpecahan yang seolah virus yang makin menjalar di berbagai sendi – sendi elemen masyarakat. Serta partisipasi aktif dari seluruh warga
Negara Kesatuan Republik Indonesia supaya cita – cita luhur itu segera terwujud bukan hanya retorika kering belaka.

238