Moderasi Beragama Sebuah Keniscayaan di Tengah Pluralisme


Oleh Kayla Mahavira

Mahasiswa Universitas Bakrie
Lomba Penulisan Karya Ilmiah #anakmudalawanintoleransi

Tahun 2019 pemerintah melalui Kementrian Agama menetapkan tahun ini menjadi “Tahun Moderasi Keberagamaan” yang bertujuan agar setiap kebijakan yang diambil pemerintah dalam memutuskan suatu persoalan yang berkaitan dengan soal-soal agama, selalu dilandasi dengan nilai-nilai moderasi. Pemerintah berharap, moderasi beragama yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah membawa masyarakat dalam pemahaman yang lebih moderat, tidak ekstrim dalam beragama, dan juga tidak merasa “paling benar” di hadapan yang lainnya.  

Moderasi beragama didiskusikan, dipraktikan dan dikampanyekan sebagai frame dalam mengelola kehidupan masyarakat Indonesia yang mutikultural. Kebutuhan terhadap narasi keagamaan yang moderat tidak hanya menjadi kebutuhan personal atau kelembagaan, melainkan secara umum bagi masyarakat, khususnya media.

Dalam masyarakat demokratis, media memiliki fungsi sebagai alat penyebaran gagasan pluralitas, penghargaan terhadap kebebasan, dan nilai-nilai demokrasi lainnya. Media juga dapat dijadikan sebagai cerminan realitas masyarakat, di mana tingkat kematangan pandangan, sikap dan tindakan tercermin dalam informasi.

Terlebih di era perubahan cepat, di mana media sudah bertransformasi dalam bentuk digital yang semunya dikendalikan oleh kecepatan elektronik di ruang digital, eksistensi manusia mengalami perubahan mendasar dari sebuah bentuk tubuh yang bergerak di dalam ruang, menjadi sebentuk tubuh yang diam di tempat dan hanya mampu menyerap setiap informasi yang lewat melalui simulasi elektronik.

Pada fase inilah, ruang-ruang digital dimanfaatkan oleh kelompok tak bertanggung jawab untuk mensosialisasikan ide-ide konflik dan menyuburkan politik identitas sehingga ruang digital lebih banyak didominasi oleh nilai-nilai keagamaan yang menjurus kepada eksklusifisme golongan.

Faham-faham keagamaan mulai banyak dipertentangkan dengan kebijakan-kebijakan negara. Otoritas keagamaan tidak lagi dipegang oleh kalangan agama yang otoritatif dan kredibel. Heidi Campbell dalam Religious-Social Shaping of Technology menggambarkan kondisi sebagai sesuatu yang sudah mengubah sikap beragama masyarakat dengan mulai pudarnya afiliasi terhadap lembaga keagamaan, bergesernya otoritas keagamaan, menguatnya individualisme, dan perubahan dari pluralisme menjadi tribalisme.

Fakta ini terjadi dalam masyarakat kita, di mana pemerintah kini dihadapkan dengan semakin menguatnya tindakan intoleransi beragama, ekstrimisme agama, radikalisme, dan politik identitas keagamaan. Dalam kondisi ini, media diperhadapkan dengan bagaimana seharusnya bersikap dan peran apa yang diambil dalam mensikapinya.

Media seharusnya memiliki peran untuk mengkampanyekan nilai-nilai toleransi, keragaman agama, hak kebebasan untuk berkeyakinan, dan nilai rekognisi pada minoritas serta mengkampanyekan nilai-nilai negasi seperti intoleransi, kekerasan atas nama agama, ekstrimisme agama, radikalisme, dan terorisme.

Dalam isu keragaman agama dan kebebasan beragama dan berkeyakinan, media memiliki peran besar dalam mempromosikannya, penghargaan minoritas, dan keragaman agama. Namun seringkali pesan ini tidak tersampaikan kepada publik karena praktik-praktik yang tidak sesuai dengan nilai dan prinsip jurnalisme, di samping juga karena pertimbangan ideologis dan pragmatisme media itu sendiri.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini sebenarnya ingin memotret bagaimana trend yang berkembang terkait dengan peliputan media, khususnya media-media berplatform online  terkait isu pluralisme agama , moderasi beragama dalam kurun waktu tertentu. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi bahan pengarusutamaan isu-isu di media terkait wacana moderasi keberagamaan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan di masa mendatang.

Metode Penelitian

Media monitoring merupakan proses pemindaian informasi publik yang terdapat dalam media cetak atau digital dengan mencari kata kunci (keyword) untuk topik-topik tertentu.

Menurut William J. Comcowich, media monitoring  merupakan rangkaian proses membaca, mengamati, atau mendengarkan konten dari sumber media secara berkelanjutan. Selanjutnya proses tersebut dilanjutkan dengan mengidentifikasi, mengkategorikan, menyimpan, dan menganalisis konten yang terdiri dari topik atau kata kunci tertentu.

Lebih lengkapnya, media monitoring adalah sebuah cara yang digunakan untuk melakukan proses membaca, mendengar, dan melihat apa yang terjadi dalam sudut pandang pemberitaan di media. Data berupa konten media yang dihasilkan nantinya dapat dianalisa dan diidentifikasi sesuai dengan kebutuhan/topik tertentu.

Sementara itu metodologi yang digunakan dalam penetilian media monitoring ini adalah metode analisis konten atau isi yang banyak digunakan untuk menganalisis semua bentuk-bentuk komunikasi baik berupa surat kabar, berita radio, iklan televisi maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain.

Menurut Berelson analisis isi adalah sebuah penelitian yang bersifat objektif, sistematis dan menggunakan deskripsi kuantitatif yang merupakan manifestasi komunikasi. Dalam melakukan deskripsi analisis isi pendekatan yang digunakan adalah kuantitatif. Analisis ini menggunakan teknik penelitian yang digunakan untuk membuat kesimpulan yang dapat direplikasi dan valid dengan menafsirkan dan mengkodekan materi tekstual. Dengan mengevaluasi teks secara sistematis data kualitatif dapat dikonversi menjadi data kuantitatif.

Sementara Eriyanto (2011), mendefinisikan metode analsis isi adalah metode kuantitatif, karena analisis yang dipakai untuk mengukur aspek-aspek tertentu yang dilakukan secara kuantitatif. Pengolahan data analisis isi dilakukan secara kuantitatif dan dilaksanakan secara objektif, mengutamakan ketepatan dalam mengidentifikasi isi pernyataan dan melakukan penghitungan.

Waktu Penelitian

Penelitian media monitoring ini dilakukan terhadap berita-berita yang mengambil tema moderasi beragama dan kebebasan beragama dan berkeyakinan di media-media berplatform online dalam rentang Januari-Desember 2022.

Obyek Penelitian

Sumber penelitian untuk media monitoring ini adalah berita-berita yang dimuat sejumlah media berplatform online. Beberapa media yang menjadi obyek penelitian media monitoring ini di antaranya kompas.com, tempo.co, bisnis.com, beritasatu.com, cnnindonesia.com, republika.com, merdeka.com, antaranews.com, harianterbit.com, netralnews.com, akurat.com, detik.com, harianjogja.com, jawapos.com, IDNtimes.com, tribunnews.com, deliknews.com, koranjakarta.com, medcom.id, jpnn.com, cnbcindonesia.com, tirto.id, kumparan.com, liputan6.com, okezone.com, dll.

Kata Kunci Penelitian

Selain penggunaan sumber-sumber pemberitaan sebagai subyek penelitian, dalam media monitoring ini juga digunakan beberapa kata kunci (keyword). Kata kunci  yang digunakan dalam penelitian media monitoring ini di antaranya, terorisme, radikalisme, kekerasan atas nama agama, pelarangan kegiatan/mendirikan tempat ibadah, moderasi beragama, pluralisme, toleransi/intoleransi, islamphobia, kebebasan beragama, dan lain sebagainya. Kata kunci-kata kunci tersebut menjadi salah satu data yang dikumpulkan, diolah dan kemudia dianalisa sehingga dapat memberikan insight pada hasil penelitian.

Hasil dan Operasionalisasi Penelitian

Dalam kurun waktu Januari-Desember 2022, ditemukan sebanyak 775 berita yang terkait dengan isu moderasi beragama dan kebebasan beragama dan berkeyakinan di sejumlah media online yang diteliti.  Angka temuan ini sebarannya pun berbeda-beda dalam setiap bulannya, tergantung dari banyak faktor misalnya, adanya aksi terorisme, munculnya kekerasan atas nama agama, hingga adanya event-event keagamaan.

Namun harus diakui, sepanjang Januari-Desember 2022, pemberitaan terkait isu cluster isu moderasi beragama dan kebebasan beragama dan berkeyakinan  seperti toleransi, terorisme, moderasi beragama, dan lain-lain mengalami perkembangan signifikan setiap bulannya.

Pada Januari 2022 misalnya, pemberitaan terkait isu-isu keagamaan hanya muncul 4 berita di media online nasional yang terdaftar dan terverifikasi. Namun angka ini mengalami peningkatan pada Pebruari 2022. Media banyak memberitakan isu-isu tersebut, karena banyaknya isu-isu agama yang  berkembang di masyarakat.

Pemberitaan media dengan isu-isu cluster keagamaan mengalami peningkatan yang cukup baik terjadi pada akhir tahun 2022, yakni terjadi di bulan September-Desember 2022. Beberapa faktor yang mempengaruhi meningkatnya pemberitaan isu cluster moderasi beragama di media online nasional antara lain, adaanya beberapa even nasional/internasional keagamaan, peristiwa intoleransi seperti pelarangan pembangunan tempat ibadah, pelarangan kegiatan keagamaan, dan peristiwa-peristiwa lainnya seperti perayaan Natal yang terjadi dalam rentang akhir tahun 2022.

Di sepanjang Desember 2022 misalnya, seperti biasanya perayaan natal menjadi sorotan media mulai pemberitaan dari sisi sosial, ekonomi, hingga ke angle perayaan libur mudik natal.

Sorotan media terhadap even natal  menjadi semakin massif ketika ada peristiwa-peristiwa penting lainnya yang menyertai natal seperti pelarangan perayaan natal oleh sekelompok orang, terorisme seperti yang terjadi di beberapa wilayah, dan peristiwa penting lainnya.

Even lainnya juga menjadi dampak semakin banyaknya media memberitakan isu-isu keagamaan adalah R20. Bagi media, even ini ikut memberi warna tersendiri terkait dengan pentingnya dialog dan toleransi di tengah keberagaman masyarakat,  dan merupakan prestasi nasional yang menjadi titik penting untuk mengingatkan masyarakat terkait keberagaman.

Media berikutnya yang juga banyak memberitakan isu-isu agama dan keberagamaan di antaranya; republika.com (89), merdeka.com (68), kompas.com (52), detik.com (41) dan tribunnews.com (38). Sementara media-media online lainnya, memberitakan dengan jumlah di bawah angka tersebut.

Dalam operasionalisasi penelitian, tidak semua kata kunci tersebut digunakan secara konsisten. Kata kunci pluralisme misalnya, kita harus menggantinya dengan padanan kata lainnya yang memiliki pemahaman sama yaitu keragaman agama.  Penggantian kata kunci pluralisme dengan keragaman agama ditujukan untuk menghindari kesalahpahaman pihak-pihak lain yang merasa tidak nyaman dengan penggunaan kata kunci pluralisme.  Kata pluralisme dirasa terlalu resisten dan memilki makna negatif bagi mereka.

Sementara itu, tujuan penggunaan kata kunci lainnya dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memastikan kata kunci yang digunakan tersebut sesuai dengan target penelitian.  Selain itu, penggunaan kata kunci ini juga dapat memudahkan penelitian dan pencarian data ketika beraktivitas di mesin telusur.

Kata kunci lainnya selain terorisme yang banyak mendapat liputan media adalah kata kunci toleransi/intoleransi.  Dari kumulasi pemberitaan sebanyak 775, bila ditabulasikan dengan menggunakan kata kunci toleransi/intoleransi maka akan didapat angka 157 pemberitaan di media online yang diteliti. Secara berturut-turut, bila dicrosstabkan dengan jumlah pemberitaan kata kunci yang digunakan dalam penelitian ini maka akan didapat angka seperti berikut :

Cross Tabulasi Kata Kunci & Pemberitaan

Kata KunciJumlah
Terorisme174 berita
Toleransi/Intoleransi157 berita
Pelarangan Kegiatan/Tempat Ibadah141 berita
Islamphobia92 berita
Moderasi Beragama66 berita
Kekerasan Atas Nama Agama64 berita
Radikalisme26 berita
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan22 berita

Bila digunakan metode crosstabulation (crosstab) untuk menganalisa kata kunci-kata kunci tersebut, kata kunci penelitian di satu sisi dan pemberitaan media online di sisi lain, maka akan didapat bahwa kata kunci terorisme merupakan kata kunci yang paling banyak mendapat pemberitaan di media online selama kurun waktu Januari-Desember 2022.

Crosstab sendiri merupakan merupakan teknik analisis data yang menyajikan dua variabel berbeda ke dalam satu matriks. Variabel pertama  bersifat kualitatif (kata kunci), dan variabel satunya bersifat kuantitatif (pemberitaan media) sehingga keduanya dapat diperbandingkan dan masing-masing memiliki hubungan secara deskriptif apabila menggunakan tabulasi silang. Tujuan dari analisis crosstab adalah untuk melihat hubungan antara dua variabel dalam satu tabel. 

Tingginya ketertarikan media online dalam memberitakan isu terorisme misalnya, tidak bisa dilepaskan dari faktor yang melatarbelakangi isu ini. Selain, karena dipengaruhi oleh masih kuatnya kekuatan islam politik yang menghendaki pendirian negara islam, isu ini juga “dihangatkan” oleh peristiwa aksi terorisme di beberapa tempat seperti di wilayah Sulawesi, Sumatera, Lampung dan terakhir peristiwa pengeboman Polsek Astana Anyar Kota Bandung Jawa Barat.

Dalam isu terorisme, narasumber yang paling banyak dikutip media selain Kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi salah satu narasumber yang paling banyak dijadikan sumber rujukan.

Secara umum, BNPT ini menjadi media darling,  setelah Kementrian Agama yang dijadikan sumber rujukan oleh media dalam memberitakan kejadian yang terkait dengan isu-isu keagamaan. Terlebih bila sudah spesifik menyentuh isu seperti terorisme, radikalisme, dan deradikalisme.

LEMBAGAISU
Kementrian AgamaModerasi Beragama,  Toleransi/Intoleransi, Islamphobia,
Badan Nasional Penanggulang TerorismeTerorisme, Radikalisme, Deradikalisasi, Kekerasan atas Nama Agama,
KepolisianTerorisme, Kekerasan Atas Nama Agama, Pelarangan Kegiatan/mendirikan Tempat Ibadah,
DPR/Politisi 
PBNUModerasi Beragama, Keragaman Agama,
Pemerintah 
Akademisi 

Performance Media dan Isu-Isu Moderasi Beragama

Performance media merupakan sikap yang diambil oleh sebuah perusahaan media dalam menyikapi suatu persoalan, dalam hal ini isu-isu moderasi beragama dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Cara menilai performance sebuah media sebenarnya dapat dilihat dari sikap yang ditampilkan dalam memberitakan suatu peristiwa, tentu antara media yang satu dengan yang lainnya akan berbeda.

Performance media secara umum dapat digambarkan sebagai tone dalam pemberitaan. Dan tone dapat diklasifikasikan menjadi tiga karakter yaitu, positif, negatif, dan netral. Performance media digambarkan positif bila peliputan media dalam prosesnya banyak menggambarkan obyek pemberitaan secara baik sehingga membuat masyarakat pembaca terpengaruh dan dan/atau bersedia mengikuti apa yang kehendaki oleh obyek berta.

Performance media dinilai netral bila dalam peliputan media tidak mengandung sentimen tertentu, hanya melaporkan fakta yang ada. Sedangkan performance negatif, justru kebalaikannya dari performance positif sehingga media berusaha memberi gambaran buruk tentang apa yang diberitakannya.

Pemberitaan media dalam isu-isu moderasi beragama dan kebebasan beragama dan berkeyakinan secara keseluruhan dapat disimpulkan mengambil sikap netral. Dari sekian pemberitaan yang berhasil ditabulasi, hampir sebagian besar menyampaikan pesan pembertaannya secara netral, dan hanya sedikit yang menunjukkan performance positif atau negatif. Sepertinya media paham, bahwa isu agama merupakan isu yang sensitif.

Walau pun sebagian besar media menunjukan performance netral dalam banyak pemberitaan, ada beberapa media yang secara terang-terangan menunjukan sikap dukungan dan apresiasinya terhadap suatu even pemberitaan.

Hal tersebut terlihat jelas dalam kasus pemberitaan terkait pelarangan kegiatan atau ibadah keagamaan oleh satu pengikut di beberapa wilayah seperti kasus di Cilegon, Lebak, Bogor, Makassar, dan kota-kota lainnya.

Terkait isu pelarangan kegiatan dan pendirian rumah ibadah, beberapa media online dalam pemberitaannya menunjukan ketegasan sikap dalam pemberitaanya. Tirto.id misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa negara tidak boleh kalah oleh sikap sebagian ormas yang berideologi “keras”.

Dalam pemberitaanya dengan judul “Soal Penolakan Gereja di Cilegon, Kemenag: Negara Tak Boleh Kalah” (“Soal Penolakan Gereja di Cilegon, Kemenag: Negara Tak Boleh Kalah”, https://tirto.id/gvRZ), Tirto.id menyebut perlunya ketegasan negara dalam kasus pelarangan pendirian gereja di wilayah Kota Cilegon.

Selama ini, ijin pendirian gereja di Cilegon hanya terkendala oleh perjanjian tidak tertulis di masa silam yang masih berpegang teguh pada perjanjian Bupati Serang Ronggo Waluyo dengan PT Krakatau Steel pada tahun 1975. Saat itu, Cilegon masih di bawah administrasi Kabupaten Serang. Isi perjanjian itu kurang lebih soal diperbolehkannya berdiri PT Krakatau Steel, namun di saat yang bersamaan pendirian gereja tak diperbolehkan.

Dengan bersumber pada narasumber kompeten seperti Kementrian Agama, akademisi, dan pengamat sosial, Tirto.id menyebut bahwa perjanjian tersebut bertentangan dengan konstitusi, terutama UUD 1945 Pasal 28 E soal kebebasan beragama dan beribadah.  

Dalam SKB 2 Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah tahun 2006, jika syarat administrasi berupa 90 tanda tangan jemaat untuk permohonan rumah ibadah sudah terpenuhi, pemerintah daerah wajib memfasilitasinya.  

Tak hanya Tirto.id, media online lainnya juga memiliki sikap yang sama terkait isu ini. Beritasatu.com dalam pemberitaannya dengan tajuk https://www.beritasatu.com/nasional/884779/ylbhi-kecam-upaya-bongkar-paksa-masjid-jamaah-ahmadiyah-di-sintang misalnya, menyoroti pelarangan pendirian rumah ibadah bagi jamaah Ahmadiyah di Sintang Kalimantan Barat. Pembongkaran sepihak masjid jamaah Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat yang merupakan langkah sepihak  dari Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji dan Bupati Sintang, Jarot Winarno bertentangan dengan pasal 29 (2) UUD 1945.

Dengan mengutip pernyataan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Beritasatu.com  mengatakan bahwa tindaka pemerintah daerah kalimantan Barat tersebut harus dihentikan karena bertentangan dengan konstitusi yang mengatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dalam banyak pemberitaannya, Beritasatu.com bahkan menyebut pemerintah tak memiliki tegas terkait isu konflik-konflik keagamaan. Pemerintah dinilai lamban dan bersifat reaktif dalam menangani kasus-kasus kelompok intoleran tersebut setelah viral terlebih dahulu di masyarakat. https://www.beritasatu.com/politik/889543/setara-institute-pemerintah-selesaikan-kasus-intoleransi-setelah-viral.

Kasus lainnya adalam dalam isu pemberitaan even internasional seperti Religion 20 (R20) misalnya, beberapa media seperti Kompas, Republika, Antara, JPNN, adalah sejumlah media yang secara intensif memberitakan peristiwa tersebut dengan sentimen positif.

Misalnya dalam pemberitaan Kompas tanggal 11 Maret 2022, harian ini memberitakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas terbesar di negara ini memiliki potensi untuk merangkul kelompok ekstrem.  Forum R20 sebagai salah satu even yang diinisiasi oleh NU bersama Liga Muslim Dunia (Muslim World League /MWL) di Nusa Dua, Bali banyak membahas konflik berbasis agama berikut dengan solusi yang ditawarkannya.

Kompas menyebut, potensi besar yang dimiliki seperti forum R20 ini seharusnya disambut baik pemerintah Joko Widodo untuk dijadikan sebagai salah satu engagement event resmi G20. Jika hal ini disepakati para delegasi negara KTT G20, maka R20 akan diselenggarakan siapa pun presidensi G20 dan dengan itu, upaya membangun forum ini secara jangka panjang dapat tercapai. (https://nasional.kompas.com/read/2022/11/03/22053171/nu-buka-peluang-forum-r20-lebarkan-sayap-rangkul-kelompok-ekstrem).

Senada dengan dengan Kompas, Antara memberitakan soal perhelatan R20 ini dengan tone yang juga positif. Dalam pemberitaannya, kantor berita ini menyebut even R20 memiliki makna strategis untuk mewujudkan visi agama-agama sebagai sumber solusi global, menebarkan nilai-nilai moral, dan spiritual sehingga diharapkan agama menampilkan wajah fitrahnya sebagai sumber kedamaian.

Even R 20 juga dianggap sebagai momen tepat, ketika kekerasan atas nama agama, terorisme, radikalisme dan tindakan intoleransi semakin menguat di masyarakat. (https://www.antaranews.com/berita/3100765/r20-pbnu-dan-pentingnya-toleransi-yang-tulus).

Dari sebagian kasus di atas dapat dilihat kondisi sikap media dalam pemberitaan isu-isu keagamaan, masih banyak media-media  yang masih mengambil sikap “aman” dalam pemberitaannya.  Untuk satu isu, bisa saja media yang memiliki sikap yang tegas namun di isu lain masih bias sikapnya.  

Simpulan

Kesimpulan  yang dapat diambil dari temuan-temuan penelitan media monitoring terkait isu moderasi beragama dan kebebasan beragama da berkeyakinan di antaranya :

  • Pemberitaan media terkait isu kebebasan beragama dan moderasi beragama belum menjadi stimulator untuk masyarakat sehingga mereka terdorong berfikir dan bersikap dewasa sehingga mereka dapat menerima nilai-nilai keragaman sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat demokratis.
  • Keberpihakan media terhadap isu-isu tersebut masih belum kuat dan masih bias. Seharusnya dengan prinsip-prinsip media seperti jurnalisme etis, profesional dan pluralistik, media harus memiliki agenda untuk menanamkan nilai-nilai pluralisme di masyarakat.
  • Langkah awal itu dapat dilakukan media dengan pemberitaan terkait isu-isu kebebasan beragama dan moderasi keberagamaan yang mendewasakan.
  • Wacana moderasi beragama dan kebebasan beragama dan berkeyakinan di media masih fokus pada dua kutub yang saling bertentangan antara yang pro dan kontra, sehingga pertentangannya tidak terlalu solutif.
  • Media seharusnya dapat menjadikan isu-isu terkait kebebasan beragama dan moderasi beragama yang berkembang di masyarakat dijadikan sebagai wacana dialog yang berkesinambungan dan memberi kesadaran kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Berelson, Bernard  & Gary A. Steiner (1964),  Human Behavior: An Inventory of Scientific Finding. NY  Harper Media.

Comcowich, W. J. (2010). Media Monitoring the Complete Guide:Everything You Wanted to Know About Media Monitoring, But Didn’t Think to As. CyberAlert.Inc.

Eriyanto, (2001), Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media,  Yogyakarta LKIS.

Eriyanto (2011), Analisis Isi : Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan ilmu-ilmu Sosial Lainnya, Kencana, Jakarta. 

Goldstraw, D. (2013). Can PR Practitioners Build Positive Relationships with Journalists via Social Media.

254